[Chapter 16] - High Tension

4.4K 446 25
                                    

Karena masih ada yang baca ini. Aku post ulang. Tapi maaf untuk endingnya.

Shania merenggangkan tangannya ke depan lalu memberi perenggangan kecil pada lehernya yang sejak tadi menunduk mengerjakan ulangan. UTS telah berakhir, namun bukan berarti dirinya bisa santai-santai karena besok perkuliahan akan berjalan seperti biasa yang artinya tugas pun akan berlalu-lalang.

Shania menyerahkan lembar jawabannya pada Asisten Dosen yang mengawas ulangan kemudian pergi meninggalkan kelas. Sebenarnya teman-teman sekelasnya berencana pergi karaoke habis ini, tapi ia menolak ajakan untuk ikut karena ada hal yang lebih penting. Lagi pula dia pernah ikut hal semacam itu pas semester satu dan berakhir sangat awkward –hanya duduk di pojokan sementara yang lain dangdutan. Mengenaskan memang.

Saat Shania berjalan di selasar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, ia melihat Dimas dan segerombolan temannya sedang duduk di bangku memanjang yang menghubungan tiang selasar satu dan lainnya. Dimas yang tak sengaja melihat ke arah Shania saat bercengkrama, langsung beranjak dan menghampiri gadis itu.

"Gimana Dim, tadi Gavrel datang?" tanya Shania setelah Dimas berada di depannya.

"Datang, tapi kayaknya udah pulang. Gue aja nggak sempat ngomong sama dia."

Shania mengernyit heran, "Loh memangnya kenapa?"

"Dia pas ulangan duduknya di depan, kalo gue kan nyari tempat duduk di belakang. Udah gitu belom juga setengah jam ulangan, eh tuh anak udah ngumpul duluan  terus pergi. Mana mungkin gue nyusul, lembar jawaban gue aja masih kosong. Abis ulangan gue cari-cari tapi dianya nggak ada, gue wasap juga nggak di balas." jelas Dimas panjang lebar. "Shan, coba lo telepon soalnya pulsa gue habis hehe."

"Terus dia ngerjain ulangannya gimana? Tangannya kanannya kan di perban?" tanya Shania selagi mencari HP-nya dalam tas.

"Duh, gue nggak merhatiin soalnya gue satu deretan jadi nggak keliatan. Tapi tumben-tumbenan si Gavrel pake kacamata sampe cewek-cewek pada berisik muji-muji dia. Bisa gaya juga tuh anak." Cerocos Dimas.

Shania yang akhirnya menemukan ponselnya, langsung menekan speed dial lalu menempelkan benda itu ke telinga. Yang terdengar masih sama seperti kemarin, suara yang menyatakan nomor tidak aktif atau di luar jangkauan.

"Nggak aktif, Dim. Abis ini gue mau ke apartemennya aja." Nada Shania terdengar kecewa sekaligus cemas.

"Ntar kalo ketemu Gavrel kasih tau gue ya, soalnya gue juga disuruh pelatih basket buat nyariin dia. Sorry nggak bisa ikut lo ke apartmennya, abis ini gue ada latihan dan pelatih gue ketat banget."

Shania mengangguk, "iya, nggak papa kok."

Dimas mengeluarkan ponsel di saku celananya,  "minta ID Line atau Whatsapp lo, Shan. Biar enak ngabarinnya."

Setelah bertukar ID, Shania pun bergegas pergi dari sana.

~*~*~*~

Shania menginjak rem secara mendadak karena baru menyadari traffic light sudah berganti merah, alhasil yang duduk di dalam mobil pun terdorong ke depan.

"Shasha, pelan-pelan dong," ucap Gin yang duduk di sebelah Shania. "Shasha masih marah ya?" tanyanya lagi karena Shania tak membalas ucapannya.

Mood Shania memang tak bagus sejak Ia tidak berhasil menemukan Gavrel di apartemen cowok itu, pun dengan Dimas yang mengabari hal serupa dari tempat latihan. Sepulang ke apartemennya, Gin juga terus meminta untuk pergi ke supermarket. Shania kira mood-nya bisa lebih baik kalau dibawa shopping, tapi gara-gara Gin minta dibelikan mie instan satu kardus -yang mana ia sangat tidak setuju, alhasil mereka bertengkar dan Shania semakin bete.

GINOSIDE [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang