Langkah kaki lelaki bertubuh jangkung itu amatlah berat untuknya. Hatinya tak ingin meninggalkan tempat yang baru saja ia kunjungi. Ia ingin lebih lama berada di tempat itu. Namun ia juga tak boleh egois menuruti keinginannya. Butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan waktu yang tepat mendatangi tempat ini. Ia tak memiliki banyak waktu. Tuntutan pekerjaannya mengharuskan ia tak selalu bisa datang ke tempat ini dalam kurun waktu yang sama. Jauh di lubuk hatinya, lelaki ini ingin berteriak keras di depan publik kalau ia tidak bahagia. Ia tak pernah menginginkan selalu berusaha tersenyum di saat hatinya rapuh. Ia ingin memaki siapapun yang ada di hadapannya, berharap mereka semua tahu apa yang ia rasakan. Betapa sakitnya ia selama 2 tahun belakangan ini. Tidak. Ia tidak bisa melakukan itu. Menceritakan apa yang lelaki ini rasakan saja tak kuat. Air matanya pasti akan berjatuhan.
Pandangan mobil hitam mewahnya sudah terlihat beberapa langkah lagi. Lelaki itu segera memasuki mobilnya di jok penumpang dan menatap kosong ke arah depan. Tubuhnya lemas, matanya terlihat sayu. Nampak lingkar hitam di bawah matanya yang menunjukkan betapa lelahnya ia dengan yang ia alami. Tentu sahabat terdekatnya yang sekarang berada di sampingnya iba melihat ia seperti itu. Dylan, sahabat dekat dari Thomas ini menginginkan Thomas kembali seperti dahulu kala. Saat dimana mereka berdua menampilkan tingkah konyol di depan kamera. Saat dimana Thomas selalu menunjukkan senyuman bahagianya tanpa ada paksaan dari benak hatinya. Saat dimana Thomas tidak menjadi pribadi pendiam dan suka menyendiri. Dylan tentu menginginkan Thomas bahagia. Untuknya, rasa sakit yang dialami Thomas adalah rasa sakitnya juga. Ia akan tetap berusaha membuat Thomas terhibur. Walaupun reaksi yang diberikan Thomas tak sesuai dengan ekspetasinya.
Dylan memutuskan untuk tak berbicara dan segera mengantar Thomas pulang ke rumahnya. Ia tahu, Thomas pasti tak ingin berbicara dengannya sekarang. Selama di perjalanan Thomas hanya terdiam. Ia sama sekali tak bicara. Dylan merasakan suasana canggung di antara mereka berdua. Ingin rasanya Dylan bisa bercanda tawa dengan Thomas dengan lepasnya. Saling menjahili satu sama lain. Namun, yang hanya Dylan lakukan sekarang hanyalah menunggu. Menunggu waktu yang tepat Thomas akan kembali seperti semula. Walaupun ada rasa keraguan di hatinya yang mengatakan bahwa Thomas kian makin memburuk.
Sesampainya di rumah megah milik Thomas. Mereka berdua segera masuk ke dalam rumah Thomas. Dylan memutuskan untuk menemani Thomas. Ibu Thomas menyambut kedatangan mereka berdua. Memeluk mereka satu persatu. Tak ada respon yang lebih baik dari Thomas. Ibu dari anak sulung ini menatap wajah anaknya khawatir karena keadaannya yang tak berubah. Thomas hanya memeluk ibunya sebentar dengan wajah tersenyum yang menyatakan kalau ia baik-baik saja dan segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Mata ibunya berpindah menatap orang yang sedari tadi tak jauh dari keberadaan Thomas. Tersirat dari tatapan wajahnya, ia sangat berharap Thomas tidak seperti ini lagi. Dylan yang diberikan tatapan itu hanya tersenyum lemah mengharapkan hal yang sama.
Dylan pun meminta izin untuk menyusul Thomas yang kini sudah berada di kamarnya. Dylan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar Thomas dan mendapatinya berdiri di balkon kamarnya melihat pemandangan halaman rumahnya sendiri. Dylan melangkahkan kakinya mendekat ke arah Thomas. Ia berhenti tak jauh dari tempat Thomas yang berdiri membelakanginya.
"Apa ada perubahan darinya?" tanya Dylan dengan pertanyaan yang sudah seringkali ia lontarkan pada Thomas setiap ia berkunjung bersama Thomas ke tempat tadi.
Thomas menghela nafasnya berat. "Ya," balasnya, "bisa dibilang menjadi lebih memburuk dari bulan lalu."
Dylan mengerutkan dahinya dan berjalan ke samping Thomas. Ia menatap Thomas dengan wajah khawatir sekaligus penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thomas Brodie-Sangster Imagines
FanfictionWritten in bahasa. Gk tau deskripsinya apaan. Semoga suka. Udh itu aja hehe. Thomas Brodie-Sangster as Himself You as Ravensia