"Hey, kalian!"
Tiba-tiba terdengar suara lain dari pintu ruangan itu. Thomas dan Stiles berbalik menghadap pintu yang kini sudah terbuka lebar. Seseorang menyenderkan tubuhnya di samping pintu itu tak jauh dari mereka.
"Yo, Derek!" sapa Stiles melambaikan tangannya.
Yang disapa hanya terdiam dan menatap tajam ke arah Stiles. Suasana seketika terasa canggung untuk Stiles. Stiles kemudian menurunkan tangannya perlahan dan menggaruk tengkuk kepalanya.
"Hm ... apa yang kau lakukan di sini, Derek?" tanya Thomas.
Derek menyilangkan kedua tangannya. "Bukankah aku yang seharusnya menanyakan itu pada kalian?"
Thomas dan Stiles saling menatap. Pikiran mereka mencari jawaban yang tepat untuk mereka katakan.
"Sebenarnya kita hanya sedang memberitahu mereka apa yang harus mereka lakukan nanti," balas Thomas.
"Kalian bisa memberitahu mereka di rumah kalian, 'kan?" Derek menaikkan salah satu alisnya, sambil mengetuk-ngetuk sepatunya.
"Hm ... ya kau benar. Hanya saja, Thomas tadi juga memintaku untuk memberi mereka dukungan moral," kata Stiles.
Thomas yang mendengar itu langsung menyikut Stiles. Ia melotot ke Stiles seakan Stiles telah salah menjawab. Stiles memasang wajah bingungnya ke Thomas. Derek pun mengerutkan keningnya. Pandangannya menatap heran ke Stiles.
"Dukungan moral? Untuk apa? Kau tahu kita ini penjajah, bukan?" tanya Derek, sambil menautkan kedua alisnya.
"Oh ya, kau juga benar untuk itu. Maksud dari 'mereka' bukan untuk kedua gadis ini. Tapi untuk yang lain," balas Stiles. Telapak tangannya kini berkeringat dan mengepal kuat. Thomas menggelengkan kepalanya perlahan melihat Stiles semakin mengada-ngada jawaban.
"Dan siapa maksudmu 'yang lain' itu?" Derek berjalan ke arah Stiles hingga berhenti tepat di depannya. Tatapannya mengintimidasi Stiles.
"Tentara kita, Derek."-Stiles menjeda kalimatnya-"Selama kita di sini, pernahkah kau berpikir mereka jenuh atau semacamnya? Atau mungkin mereka rindu dengan keluarganya di sana?" Perlahan tangan Stiles merenggangkan kepalan tangannya. Ia terlihat teringat sesuatu yang mengungkit masa lalunya. Stiles memang sensitif jika berbicara tentang keluarganya. Entah apa itu, hanya Stiles saat ini yang tahu.
Derek terlihat berpikir sebentar. Raut wajahnya perlahan terlihat melembut. "Mungkin saja, tapi itu juga berlaku untukmu, 'kan?"
"Ya, tapi aku masih ada Dylan. Walaupun kau berpikir dia sering menganggapku tak berguna. Percayalah, aku masih menerimanya. Karena dia yang membuatku selalu ingat dengan ibuku yang selalu berkata, kalau aku harus tetap ada untuknya apapun yang terjadi."
Kedua mata Stiles terlihat mulai berair. Namun, ia masih berusaha untuk terlihat tegar. Thomas dan kedua gadis itu melihat Stiles iba. Dibalik sikap anehnya Stiles, Stiles masih memiliki hati yang lembut untuk keluarganya. Terutama ibunya. Derek menundukkan pandangannya. Ia kemudian menaruh kedua tangannya di pundak Stiles. Ia pun tersenyum kecil ke Stiles.
"Aku tak pernah tahu kalau kau selama ini mempunyai hati seperti itu. Ku kira, semua penjajah di sini hatinya telah diperburuk oleh Dylan. Hubungan antara tentara memang tidak begitu baik dan dekat. Mereka semua menjadi suka bertindak sewenang-wenang. Aku tahu kita ke sini memang untuk menjajah, tapi aku masih punya jiwa kemanusiaan juga. Aku tak ingin berlebihan. Dan ternyata, kau yang sudah jelas saudara kembar Dylan, sangat berbeda jauh dengannya."
Stiles hanya tertawa kecil. Tiba-tiba saja, Derek memberinya pelukan untuk Stiles. Stiles sedikit tersentak, tak lama kemudian ia membalas pelukan itu. "Kau keren, kawan." Ucap Derek sambil menepuk-nepuk punggung Stiles.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thomas Brodie-Sangster Imagines
FanficWritten in bahasa. Gk tau deskripsinya apaan. Semoga suka. Udh itu aja hehe. Thomas Brodie-Sangster as Himself You as Ravensia