Ravensia mengerjapkan matanya. Cahaya matahari belum menembus jendela kamarnya. Ia memang terbiasa bangun lebih pagi. Kakinya mulai menyentuh lantai yang dingin. Sepi. Tak ada teriakan ibunya meminta bantuannya untuk membuat sarapan. Di usianya yang di bawah 20 tahun. Ravensia terbilang mandiri di keluarganya. Ia tak pernah mau merepotkan orang tuanya.
Ah, itu hanyalah masa lalunya sebelum negaranya dijajah. Semua seolah lenyap begitu saja. Sudah banyak air mata yang keluar untuk mengenang keluarganya. Ravensia menghela napasnya, ia akhirnya keluar dari kamarnya. Langkahnya menuntun dirinya ke dapur.
Dia akhirnya memutuskan untuk membuat sarapan. Tak ada pilihan lain selain memasak bahan-bahan yang tersisa di kulkas. Meski ia memasak di dapur rumahnya dulu. Tetap saja, perasaannya tak sama. Tiba-tiba, Ravensia teringat kembali malam tadi. Pipinya bersemu merah. Ia sendiri bahkan tak tahu mengapa ia seperti itu.
"Tak ku sangka ia bisa bersikap baik," batinnya.
Ravensia telah bersikap lancang, mungkin saja ia akan dibunuh jika lelaki itu bukanlah Thomas. Pikirnya kembali beradu. Mungkin saja sikap Thomas tadi malam hanya sebuah kebohongan. Penjajah tetaplah penjajah. Mereka telah membuatnya kehilangan keluarga. Tapi, mengapa ia tak membunuh Thomas? Thomas jelas sudah memberinya kesempatan. Hatinya bersikeras kalau ia masih memiliki jiwa manusia. Ia tak akan tega melakukan hal sekejam itu. Meski tentara lainnya sudah membuat daerahnya terpuruk. Apapun itu, ia tetap harus waspada terhadap Thomas.
"Selamat pagi, Ravensia."
Suara bariton menginterupsi Ravensia yang sibuk memasak. Pikirannya akan hal tadi buyar. Ia sedikit menegang mendengar suara itu. Ia memilih tak menjawab dan melanjutkan memasak. Deritan kursi makan yang ditarik, menandakan sosok itu sudah siap menunggu sarapannya.
"Maaf kalau aku merepotkan," kata lelaki itu.
"..."
Tak ada respon, Thomas menautkan kedua aslinya. "Kau terlihat berbeda."
"Maaf, Tuan. Tapi, kau baru mengenalku tadi malam. Kau pun tahu aku di sini hanyalah pembantu. Ku harap kau mengerti mengapa aku bersikap seperti ini."
Thomas semakin bingung dibuatnya. Terlintas di pikirannya gadis ini mengidap penyakit bipolar. Seolah mengerti, Thomas menggelengkan kepalanya. Tak mungkin gadis ini seperti yang dipikirnya.
"Aku tahu, sulit rasanya untuk mempercayai orang yang baru kau temui dan langsung menawarkan bantuan yang berdampak besar bagi hidup kita. Terlebih kawannya telah membuatmu terpuruk. Dunia ini memang penuh kebohongan. Tapi, ku harap kau mengerti apa yang dimaksud ketulusan."
Thomas beranjak dari duduknya memperhatikan Ravensia yang mematung di tempat. Butuh waktu untuk Ravensia mencerna ucapan Thomas. Tak mendapat respon apapun kesekian kalinya, Thomas mendengus pelan.
"Aku akan pergi ke markas. Lakukanlah sesukamu di rumah ini," pamit Thomas.
Ravensia masih terdiam di tempatnya. Ia merasa terganggu telah meragukan Thomas. Pikirnya kembali berkecamuk. Siapa yang harus ia percaya?
******************************
"Yo! Thomas!"
"Stiles Stilinski," balasnya datar melihat sahabat botaknya itu.
"Kau tidak terlihat biasanya. Ada apa denganmu? Ada masalah rumah tangga?" tanya Stiles meledek.
Thomas mendengus kesal. Berani-beraninya Stiles berkata seperti itu. "Kau sendiri tahu, kalau rumah tanggaku tidak 'sebahagia' dirimu," balasnya sarkas.
Stiles justru tertawa lepas mendengarnya. Pandangan heran tentara lain tertuju padanya. Walaupun mereka terbiasa dengan sikap Stiles, tetap saja hal itu telah mengacaukan suasana pagi mereka. Thomas memutar kedua matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thomas Brodie-Sangster Imagines
FanficWritten in bahasa. Gk tau deskripsinya apaan. Semoga suka. Udh itu aja hehe. Thomas Brodie-Sangster as Himself You as Ravensia