Gue pun memasuki ruang dosen dengan langkah takut, masalahnya dosen gue yang satu ini terkenal susah untuk bernegosiasi.
"Permisi pak.." kata gue di depan dia yang lagi sibuk menulis di buku hitam miliknya.
Banyak yang bilang kalau buku hitam itu merupakan buku diarynya dosen ini karena selalu dibawa kemana-mana sama dia, ada juga yang bilang itu catetan utang, sumber lain mengatakan kalau itu kumpulan puisi yang si bapak dosen buat. Entahlah yang bener yang mana karena sampai sekarang pun tidak ada yang tahu mengenai kebenarannya.
"Ya?" Jawab dia singkat.
"Permisi pak, saya mahasiswa bapak yang mengikuti mata kuliah bapak semester kemarin."
"Emang kamu sudah resmi ganti semester? Libur saja belum," kata dia datar, tapi nyelekit.
sabar... sabar...
"Belum pak," jawab gue.
Dia cuma ngeliatin gue, kayanya nunggu gue ngomong lebih lanjut.
"Saya menemui bapak untuk minta perbaikan pak."
"Emang nilai kamu berapa?" Tanya dia.
MASA GAK INGET SIH?! KAN DIA YANG NGASIH NILAI!
"C pak," jawab gue dengan pelan, malu juga gue ngomongnya.
"Apa? Saya gak denger."
Hhhhh... gue mau nangis aja rasanya!
"C pak," ulang gue dengan suara yang lebih jelas.
Dia memperhatikan gue dari atas sampai bawah sebelum ngomong, "nilainya emang udah masuk SIA?"
SIA itu sistem informasi akademik online, yang di dalamnya ada info dari setiap mahasiswa mulai dari nilai, kartu hasil studi, kartu rencana studi dan lain-lainnya.
"Belum sih pak, saya baru ngeliat pengumuman di kelas," jawab gue.
"Kamu jarang masuk kuliah saya?" Tanya dia.
Enak aja si bapak fitnah begini...
"Absen saya full pak seratus persen di setiap pertemuan," kata gue dengan penuh penekanan di setiap katanya, "sampai saat saya sakit pun saya tetap masuk."
Bodo amat kalau gue terkesan curhat, yang penting dia harus tau kalau gue itu rajin masuk mata kuliah dia.
"Yaudah, nanti saya pikirin. Kamu WA saya aja nanti," kata dia.
"Tapi saya gak punya nomor bapak," kata gue gak enak.
"Di awal perkuliahan saya selalu memberikan nomor handphone saya ke mahasiswa," kata dia sambil ngeliat gue tajem.
Gue cuma senyum gak enak karena ketauan gak nyimpen nomor dia, ngapain juga nyimpen nomor dosen galak kaya dia. Toh ada ketua kelas sama sipen yang menghubungi dia.
"Mana handphone kamu?"
Gue pun memberikan handphone gue ke arah dia dengan ragu, tapi dia udah narik handphone gue gitu aja.
Gue sebenernya malu karena lockscreen dan wallpaper handphone gue adalah foto gue sama Kara, pacar gue. Kan gak enak kalau ketauan sama dosen begini.
Tapi Pak Arya gak ngerespon berlebih, dia nulis nomornya, setelah itu dia ngasih lagi hpnya ke gue.
"Ada ketentuan waktu untuk menghubungi bapak?" Tanya gue.
"Kalau kamu tau yang namanya sopan santun, kamu pasti tau waktu yang pas untuk menghubungi saya," jawab dia lagi-lagi dengan tenang, tapi menusuk.
"Baik pak, terimakasih," kata gue pada akhirnya dan gue pun keluar dari ruangan dosen gila itu.
Gue bisa stress lama-lama ngadepin dosen kaya gitu!
Gak lama gue keluar ruang dosen, gue ngeliat Kara yang melambaikan tangannya ke gue. Pacar adalah moodbooster terbaik saat ini menurut gue.
"Kata anak-anak kamu lagi sedih, kenapa?" Tanya Kara begitu kami bertemu di lorong depan ruang dosen.
"Aku dapet C di matkul 3 sks," kata gue sedih.
"Terus gimana?" Tanya Kara.
"Lagi minta perbaikan," jawab gue.
"Semoga perbaikannya gak aneh-aneh ya," kata Kara sambil mengusap kepala gue lembut.
"Aku padahal udah janji sama mamah mau pulang cepet semester ini, tapi kayanya gak jadi karena ini," kata gue sedih.
Ya, gue emang merantau dan hidup sendiri disini. Sebagai anak tunggal yang belum pernah lepas sama orang tua, kuliah jauh dari mereka jadi ujian tersendiri buat gue. Biasanya kalau ada kesempatan libur, gue pasti akan menyempatkan diri gue untuk pulang.
"Mamah kamu pasti ngerti kok, kamu semangat ya, ayo kita makan, kamu pasti belum makan kan?" Tanya Kara yang gue jawab dengan anggukan.
Karatama Reinha pacar gue adalah seorang mahasiswa kedokteran, dia juga semester enam sama kaya gue. Kami kenal karena pesta ulang tahun Juna saat semester dua, kami jadian di semester tiga, dan hubungan kami sudah jalan satu setengah tahun sampai saat ini.
Kara anak yang baik dan pengertian, dia juga perhatian yang bikin gue suka sama dia. Cuma satu yang kurang, kalau dia udah sibuk sama tugas dan gamenya, dia gak pernah inget untuk ngabarin gue, hal itu bahkan sempat menjadi salah satu penyebab kami putus semester lalu.
Kita akhirnya kembali lagi ke kantin, disana masih ada Calvin sama Rara, dan Joana juga Juna. Iim dan Yuda sudah menghilang entah kemana.
"Gimana git si Arya?" Tanya Calvin dengan kurang ajar.
"Hus! Kamu tuh ya, gitu-gitu dia dosen. Hormatin dikit dong!" kata Rara.
"Pak Arya nyuruh gue WA dia nanti, ntar dia mikirin tugasnya dulu buat gue," jawab gue.
"Dia udah nikah belum sih?" Tanya Joana penasaran.
"Kenapa jo? Lo minat?" Tanya gue sambil ketawa yang membuat Juna mendelik kesal kearah gue.
"Bukan anjir! Ogah gue ama orang macem kanebo kering begitu," kata Joana.
"Ya terus? Peduli amat mau dia udah nikah apa belom. Gak ada untungnya juga buat gue," jawab gue.
"Ya kalau udah gue cuma gak abis pikir aja sih, itu istrinya harus sabar kaya apa tau untuk ngadepinnya," kata Rara.
"Eh, biasanya orang begitu malah beda perilakunya ke orang yang di sayang," timpal Kara.
"Iya sih biasanya gitu," timpal Juna.
"Udah sih ah jangan bahas dia mulu! Kesel nih gue bawaannya!" Kata gue sewot yang membuat yang lainnya tertawa.
"Pasangan halal kemana?" Tanya Kara.
Ya dari kami berdelapan, sebutan itulah yang kami julukkan ke iim dan juga Yuda yang memang sudah menikah.
"Ada urusan di rumah katanya," jawab Rara.
"Untung ya mereka walaupun dijodohin bisa berakhir kaya gitu," kata Joana.
"Lagian jaman sekarang masih aja di jodoh-jodohin elah, kaya jaman purba aja," celetuk gue yang membuat mereka tertawa.
"Kalau ternyata lo di jodohin juga gimana git?" Tanya Joana yang membuat tawa gue berhenti.
"Gak lucu anjir! Hahaha... tapi kalau yang dijodohin sama gue mukanya kaya member EXO gue sih gak nolak," jawab gue yang membuat Rara menoyor kepala gue spontan.
"Kara! Pacar lo genit tuh!" Adu Joana ke Kara yang hanya Kara tanggapi dengan senyuman geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] My Lecturer, My Husband
HumorOrang bilang perkataan adalah doa, hal itu yang terjadi pada Inggita Almira Arundati. Karena tidak menjaga perkataannya yang suka ceplas ceplos Inggit harus mengalami kehidupan barunya bersama Sadewa Bentara Arya, dosen kaku nan galak di kampusnya y...