21.

213K 12.1K 1.1K
                                    


"Pak Arya kayanya sensi banget sama lo ya?" Tanya Rara saat kami berkumpul di kantin, hal itu membuat iim tersedak minumannya.

"Sensi gimana?" Tanya gue pura-pura gak mengerti.

"Ya gue baru sadar, kayanya tuh kalau lo yang ngobrol di kelas di tegornya cepet banget. Jenara aja yang sengaja ngobrol biar di tegor gak pernah di tegor sama Pak Arya," kata Rara yang membuat gue menghentikan kunyahan gue.

"Naksir kali," kata Joana asal.

"Dia udah punya istri njir!" Kata Calvin.

"Perasaan lo doang kali, Hanif juga sering ditegor karena tidur kan?" Kata gue mencoba berkilah.

"Tapi Hanif gak dapet C sampai harus ngejar-ngejar Pak Arya untuk dapet perbaikan," kini Altan yang angkat suara.

"Lo sering ngilang kalau jam istirahat kemana?" Tanya Joana to the point ke gue.

Ke ruangan suami gue minta duit...

"Ke perpus," bohong gue.

"Sianjir lah sok-sokan banget lo!" Kata Juna gak terima yang gue jawab dengam cengiran.

"Gue punya film baru, nonton kuy!" Ajak Calvin.

"Film baru apa film biru?" Tanya Hanif yang membuat iim menoyor kepalanya.

"Otak lo kotor nyet!" Kata iim.

"Kagak serius, film bagus nih," kata Calvin.

"Ayolah, gas terus," kata Yuda.

"Dimana nih?" Tanya Rara.

"Apartemen lo aja git," kata Altan yang membuat gue melotot.

"Jangan!!"

"Kenapa sih? Biasanya juga kita ngumpul di apartemen lo?" Tanya Hanif heran.

"Kita cari tempat lain aja gimana?" Kata iim yang membuat gue memberikan senyum terimakasih gue untuk dia.

****

Hari ini adalah hari pertama bimbingan skripsi gue, karena prof. Esok orangnya sibuk, jadilah semuanya diserahin ke pembimbing kedua gue yaitu Pak Arya. Yang pembimbingnya prof. Esok sama Pak Arya kebetulan cuma gue sama Jenara. Jangan tanya gimana Jenara sekarang. Dia girang banget bisa masuk ke ruangan Pak Arya.

"Kalian udah nentuin topik apa yang mau diambil?" Tanya Pak Arya yang dijawab anggukan sama Jenara dan gue.

"Saya akan bahas satu-satu, mulai dari kamu," kata Pak Arya sambil menunjuk Jenara.

Pak Arya pun berdiskusi dengan Jenara mengenai topik yang di pilih Jenara. Sempat terjadi perdebatan sedikit, tapi Pak Arya tetap menang pada akhirnya.

Dan akhirnya sekarang giliran gue yang berdiskusi sama dia.

"Kamu sudah selesai dan bisa keluar sekarang," kata Pak Arya ke Jenara yang membuat Jenara mencebikkan bibirnya kesal.

"Besok-besok lo yang konsul duluan ya," bisik Jenara ke gue yang gue angguki.

Bukan salah gue kalau Pak Arya nyuruh dia duluan yang konsul kan?

Setelahnya Jenara keluar dari ruangan dan meninggalkan kami berdua.

"Topik kamu apa?"

"Saya sebenernya belum nemu pak."

"Nanti pulang masuk perpustakaan, cari disana topik yang mau kamu angkat. Setelah itu diskusikan ke saya," kata Pak Arya.

"Pak? Diskusi di luar jam kuliah gak apa-apa?" Tanya gue.

"Gak apa-apa, tapi tentu aja ada biaya tambahannya."

"Bapak mata duitan!"

"Saya ngajar di bayar per jam, dan kata siapa saya minta bayarannya uang? Kamu lupa tentang konsep biaya?"

"Biaya itu bisa berupa uang, barang, waktu atau kesempatan yang di korbankan," kata Pak Arya yang membuat gue menganga enggak percaya.

Teoritis banget sih elah!

"Jadi mau bapak apa?"

"Karena waktu yang kamu ambil di rumah adalah waktu saya sebagai suami kamu, jadi saya akan minta bayaran sebagai suami kamu."

Lah... mampus gue...

*****

Gue udah gede untuk mengerti maksud Pak Arya itu apa, makanya gue deg-degan gak karuan sampai pulang ke rumah dan nunggu dia pulang.

Dan disaat Pak Arya membuka pintu apartemen, jantung gue kaya lompat dari tempatnya.

Gue pura-pura acuh dengan menyibukkan diri untuk menonton televisi. Gue memencet tombol remote dengan asal supaya terlihat lebih natural, tetapi gak ada perubahan di televisi yang membuat gue menekan tombolnya lebih kuat.

Remote yang ada di tangan gue tiba-tiba di ambil sama Pak Arya yang membuat gue kaget.

"Remotenya terbalik. Sensor remote itu ada di bagian atas," kata Pak Arya kalem sambil merubah arah remote itu dan mengembalikannya ke tangan gue.

Fix. Ini malu-maluin. Mau lompat dari balkon aja rasanya. Huhuhu...

Setelah Pak Arya masuk ke dalam kamar, gue berguling-guling di sofa dan merutuki kebodohan gue barusan. Bukannya keliatan natural, yang ada gue keliatan semakin gugup kalau kaya gitu.

Gak lama Pak Arya keluar dari dalam kamar dengan hanya mengenakan celana tidurnya dan handuk kecil yang menggantung di lehernya, rambutnya terlihat basah dan bulir-bulir air masih terjatuh dari sana.

"Sini masuk," kata Pak Arya yang membuat gue menelan ludah gugup.

Gue akhirnya mematikan televisi dan menurut untuk masuk ke dalam kamar.

Pak Arya membuka tasnya dan memberikan tiga buah undangan ke gue.

"Ini apa?" Tanya gue dengan cengo.

"Undangan, kamu bisa liat sendiri kan tulisannya?" Kata Pak Arya datar seperti biasa.

"Iya mas, saya tau ini undangan. Tapi kenapa undangannya dikasih ke saya?" Tanya gue heran.

"Itu bayaran untuk saya," kata Pak Arya.

"Saya ngewakilin mas hadir ke acara ini?" Tanya gue bingung yang membuat Pak Arya mendengus

"Dampingi saya sebagai istri saya," jawab Pak Arya.

Oh jadi ini maksud dia minta bayaran sebagai suami? Gue kira apaan...

"Saya minta kamu membayar dengan waktu kamu,"

"Tapi mas, kalau orang kampus pada tau gimana?"

"Itu bukan undangan dari orang kampus kok, tapi gak menutup kemungkinan kalau ada orang kampus yang hadir. Lagipula kalau pada tau kenapa?"

Sampai kapanpun gue gak akan pernah menang berdebat sama dia, makanya gue lebih memilih untuk diam.

[Sudah Terbit] My Lecturer, My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang