06.

179K 12.2K 872
                                    

Setelah selesai makan, Pak Arya pun mengikuti gue untuk ke belakang rumah, dimana ada beberapa kursi dan juga taman kecil disana.

"Jadi om udah tau semuanya?" Tanya gue tanpa basa basi.

Muka dia kaya kaget ngeliat gue yang manggil dia om.

"Om?" Tanya dia.

"Tadi kata Ayah om saya gak boleh manggil om bapak, jadi saya manggilnya om aja," jawab gue yang membuat Pak Arya cuma menggelengkan kepalanya samar.

Karena gak ada respon, gue pun bertanya lagi.

"Jadi om udah tau semuanya?" Tanya gue.

"Pertanyaan kamu ruang lingkupnya terlalu luas, nanya itu yang spesifik biar saya menjawab hal yang perlu di jawab saja."

Huhuhu gue lupa kalo lagi ngomong sama dosen killer!

"Om tau mau dijodohin?" Tanya gue.

Dia menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

"Terus kenapa om gak nolak sih?!" Tanya gue gregetan.

"Itu permintaan orang tua saya, kenapa saya harus menolak?" Tanya dia balik.

"Tapi kan... tapi.. ah! Saya udah punya pacar om!" Kata gue frustasi.

"Ya itu urusan kamu, bukan urusan saya," jawab dia kalem.

Gak dimana-mana dia selalu bikin gue pengen nangis.

"Kenapa om gak nolak sih om?! Dan bilang sama orangtua om kalau saya sebenernya udah punya pacar!"

"Saya tau saya mau dijodohin, tapi bukan sama kamu," jawab Pak Arya yang bikin gue bungkam. Dengan kata lain, dia gak mau di salahkan dalam hal ini.

Gue gak bisa nahan air mata karena saking keselnya sekarang.

"Orang tua kamu juga dulu dijodohin kan? Sama kaya orang tua saya, seharusnya kamu gak sehisteris ini sekarang."

Gue tau nyokap bokap gue emang dulunya dijodohin, tapi gue gak menyangka kalau gue akan berakhir menjadi seperti itu juga.

"Sekarang kasih saya alasan kenapa kamu menolak perintah orang tua kamu untuk menikah, sedangkan maksud mereka baik."

Pertama karena gue punya pacar!

kedua karena calon suaminya kanebo kering kaya lo!

ketiga karena gue udah nyumpahin hidup lo bakal susah! Kalau gue jadi istri lo pasti berdampak juga sama gue!

"Karena saya punya pacar," jawab gue.

"Pacar kamu anak kedokteran yang baru masuk semseter tujuh, seangkatan sama kamu dan masuk ke dalam jajaran mahasiswa berprestasi di kampus dengan indeks prestasi di atas 3,5. Apa menurut kamu apa dia mau nikahin kamu disaat studi dan koasnya belum selesai kaya sekarang?" kata Pak Arya yang menohok gue.

Kenapa sih kata-kata dia selalu bener?

Impian Kara itu jadi dokter spesialis kandungan, dan itu masih lama banget untuk dia raih. Kalau disuruh milih nikahin gue apa lanjut studi, gue yakin 90% Kara akan memilih studinya.

"Saya gak peduli mau kamu di luar sana punya pacar atau gimana, yang jelas saya disuruh orangtua saya untuk menikahi anak temannya, jadi tanggungan saya cuma itu, bukan hal yang lain," kata dia yang membuat gue merasa semakin bingung.

Gimana kalau gue nikah beneran sama dia? Baru begini aja udah gini.

Cekcok setiap hari, udah gitu gue gak bisa maki-maki dia seperti yang selalu gue lakuin selama ini.

"Besok ikut saya untuk cari cincin sekalian nganter undangan."

"Tapi om?! Siapa yang mau nikah sama om sih?!"

"Mau gak mau, siap gak siap, dua minggu lagi saya akan tetap kesini untuk nikahin kamu agar gak malu-maluin keluarga saya. Kalau kamu mau malu-maluin keluarga kamu, itu terserah kamu," kata Pak Arya tajem sambil beranjak pergi ninggalin gue.

"Om?! Loh?! Kok gitu sih om?!" Teriak gue gak terima.

Pak Arya menghentikan langkahnya dan membalikan tubuhnya lagi kearah gue.

"Jangan panggil saya om kalau di luar, saya gak mau terlihat seperti orang yang punya simpanan,"

"Loh, kan suka-suka saya dong mau manggil apa,"

"Kalau kamu mau dapet C semester depan, silahkan,"

"Kok om gak profesional sih bawa-bawa masalah pribadi untuk nilai?! Jangan-jangan nilai C saya kemarin juga karena masalah pribadi?!"

"Saya korting nilai kamu jadi D nanti,"

"Laaaah?!!"

[Sudah Terbit] My Lecturer, My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang