07.

185K 12K 1K
                                    


Keesokan harinya pada akhirnya gue berakhir duduk di dalam mobil bersama Pak Arya untuk mencari cincin pernikahan.

Jangan tanya kenapa gue mau, karena paksaan nyokap gue dan juga WA yang berisi ancaman dari Pak Arya.

Bagaimanapun juga gue masih sayang nilai gue.

Gue gak memilih tempat duduk di samping Pak Arya, tapi di belakang.

"Kamu ngejadiin saya supir?" Tanya Pak Arya kayak gak abis pikir sama kelakuan gue.

"Yang penting saya ikut kan om? Om gak bilang saya harus duduk dimana," jawab gue cuek.

"Berapakali saya harus mengulang ke kamu kalau jangan panggil saya om kalau di luar!"

"Ini di dalem mobil om, om gak spesifik menyebutkan kata di luar yang om maksud itu dimana, jadi menurut saya sah sah aja saya manggil om sekarang."

Gue bales deh tuh! Rasain lo! Emang lo doang yang bisa!

"Gak ada pembenaran kalimat untuk saat ini om, udah sana jalan!"

Liburan masih dua bulan ke depan, dan gue akan mikirin cara untuk bisa bebas dari dosen gila ini.

Tanpa gue duga, Pak Arya langsung membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan mengerem dengan mendadak saat lampu merah yang membuat jidat gue terpentok sama jok bagian depan. Gue yakin ini dia lagi bales dendam! Kaya anak kecil aja!

"Om membahayakan keselamatan orang lain kalau gini ceritanya!" Umpat gue kesel.

"Kamu suruh saya jalan doang, tanpa memberitahu kecepatan yang harus saya tempuh secara spesifik," timpal Pak Arya datar.

SETAN BANGET SIH INI DOSEN SATU!

Gue akhirnya sampai di toko perhiasan yang untungnya dengan kepala yang utuh, gue rasa Pak Arya berbakat untuk jadi pembalap liar, siapa tau dia bisa jadi cameo di sinetron yang lagi hits itu.

"Sana pilih," kata Pak Arya dengan kedua tangan yang ditaruh di dalam saku celananya.

Tch. Sok model!

"Mba, cincin pernikahan yang paling mahal yang mana ya?" Tanya gue tanpa basa-basi.

Gue gak peduli sama bentuk dan model, yang penting mahal, siapa tau Pak Arya gak ada duit buat belinya dan gak jadi nikahin gue.

Mba-mba nya pun mengeluarkan beberapa kotak sebagai pilihan.

"Ini tiga koleksi teratas di toko kami mbak," kata mba-mba itu.

Gue sebenernya suka sama tiga-tiganya karena terlihat simple dan elegan, gue jadi bingung mau pilih yang mana.

"Cepet pilih," kata Pak Arya gak sabaran.

Gue cuma berdecak kesal sebagai balasan.

"Yang nomor dua mba," jawab gue.

"Bungkus yang nomor tiga," kata Pak Arya sambil ngeluarin kartu miliknya.

KALO DIA YANG MILIH UJUNG-UJUNGNYA KENAPA HARUS NGAJAK GUE KESINI?!

*****

Gue yang kapok karena kejedot terus-terusan di kursi belakang akhirnya memilih duduk depan untuk perjalanan pulang.

Gue masih diem gak mengeluarkan sepatah kata pun karena ngerasa sangat amat kesal.

Percuma ngajak gue kalau ujung-ujungnya pilihan dia yang di beli!

Dia pun mengeluarkan undangan dari dalam goody bag yang ada di belakang, dan dia turun dari mobil tanpa ada basa basi sama sekali yang membuat gue mencibir dalam hati.

[Sudah Terbit] My Lecturer, My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang