05.

186K 12.2K 1.2K
                                    

Segala sumpah serapah gue ucapkan dalam hati saat ini. Sekarang gue udah ada di meja makan dan berhadapan sama Pak Arya yang keliatan cuek aja. Sesekali dia menjawab kalau di tanya bokap sementara gue hanya memasang wajah bete.

"Oh iya, inggit udah mau semester tujuh kan ya?" Tanya bokap pak Arya yang gue jawab dengan anggukan.

Nyokap gue menyenggol siku gue dan membisikkan kalimat kalau gue harus sopan. Gue hanya berdecak pelan tanpa menggubris omongan nyokap gue.

"Kalian satu kampus kan?" Tanya bokap Pak Arya yang dijawab anggukan sama Pak Arya.

Jangan ditanya reaksi bokap nyokap gue, mereka kaya kaget.

"Oh ya? Kamu jadi apa disana?" Tanya bokap.

"Saya salah satu staff pengajar pak," kata Pak Arya kalem.

"Wah! dosen? Kamu ngajar inggit gak? Dia di kampus gimana?" Tanya nyokap gue yang membuat gue mendelik.

Pak Arya memperhatikan gue sekilas sebelum kembali melihat kearah piring miliknya.

"Sering main handphone kalau di kelas."

DAMN! Brengsek banget emang dosen yang satu ini!

Gue rasanya mau ngubur muka gue sekarang. Dibilang kaya gitu sama dosen lo di depan orang tua lo itu udah kaya dapet vonis hukuman mati!

"Wah, lain kali tegur aja langsung," kata bokap gue sambil melihat gue tajem.

Gue cuma menggigit bibir gue sekarang karena malu sekaligus kesel.

"Tapi mamah jadi tenang kalau kalian satu kampus, berarti inggit ada yang ngawasin," kata nyokap gue dengan senyum penuh kelegaan.

"Semua urusan udah siap kan?" Tanya bokap kearah Pak Arya, yang ia jawab dengan anggukan.

"Tinggal beli cincin om," jawab Pak Arya.

Iim pernah cerita dia ngamuk-ngamuk pas pertamakali tau mau dijodohin sama Yuda. Gue mengerti kenapa dia bisa kaya gitu, karena gue pun merasakan hal yang sama!

Sayangnya, kalau iim ngamuk-ngamuk gak akan berpengaruh apa-apa karena Yuda juga seorang mahasiswa kaya dia. Kalau gue mengeluarkan segala sumpah serapah yang udah gue tahan saat ini, gue gatau nasib gue semester depan gimana sama Pak Arya. Jadi gue menghela napas dalam dan mencoba mencari cara lain untuk menggagalkan perjodohan ini.

Gue tau di daerah kampung gue di Singosari Kabupaten Malang emang masih banyak yang melakukan tradisi perjodohan seperti ini secara tutun-menurun. Tapi gue gak menyangka hal itu juga terjadi sama gue yang notabenenya sudah berkuliah di kota besar seperti Jakarta.

"Permisi, om, tante, mah, pah bukannya ini terlalu cepat? Maksudnya saya masih kuliah, dan saya juga belum siap untuk menikah," kata gue.

Gue mau cuti kuliah aja! Mending nikah deh daripada harus ketemu dosen modelan begitu!

Seketika gue mengingat omongan gue kemarin, dan meringis miris kenapa omongan gue akhir-akhir ini malah menjadi nyata.

"Semua perlu proses, tante dulu juga waktu nikah sama om ngerasa belum siap, tapi om yang ngajarin tante gimana untuk menjadi istri dan membangun sebuah keluarga yang baik," kata Nyokap Pak Arya.

"Iya bener git, mamah juga dulu gitu. Lagian ini semua demi kamu kok, kami jadi lebih tenang untuk ngelepas kamu," kata nyokap.

Gue memutar otak untuk mencari celah lain saat ini.

"Lagipula emang Pak Arya mau?" Tanya gue sambil ngeliat kearah Pak Arya.

Please jawab enggak, please jawab enggak, please jawab enggak.

"Saya ikut orang tua saya, kalau menurut mereka ini yang terbaik, ya saya akan lakukan."

ANJIR LAH!

"Noh, contoh tuh dosen kamu, anaknya nurut, berbakti sama orangtua," kata bokap gue mengompori.

Rasanya gue pengen garuk tembok!

ini lebih parah men! Bukan cuma pembimbing skripsi! Tapi pembimbing hidup!

Juna bener-bener deh, jangan-jangan dia ngedoain gue sampe gue berakhir kaya gini sekarang.

"Papah udah tua, gak selamanya ada terus-terusan untuk kamu. Papah percaya sama Arya, dia yang terbaik untuk kamu menurut papah, jadi terima perjodohan ini untuk papah sama mamah, biar kami lebih tenang untuk melepas kamu."

Gue mau nangis sekarang, paling benci kalau bokap udah ngomong kaya gini. Nyokap sering cerita kalau bokap akhir-akhir ini sering tumbang karena memang faktor usia yang sudah menua, tapi beliau gak pernah mau menutupi hal itu dari gue.

"Lagian sebenernya mau kamu siap atau enggak undangannya juga udah di cetak, dan akan disebar besok," kata nyokap.

WHAT?!

Kepala gue udah bener-bener pusing sekarang.

"Kebaya? Seserahan dan lain-lain? Emang udah disiapin?!" Tanya gue.

"Udah," kata nyokap dengan senyuman tanpa dosa.

Brengsek! Pantes aja nyokap gue ngasih katalog kebaya pernikahan waktu itu, dan gue disuruh milih modelnya. Katanya buat anak temennya jadi gue disuruh rekomendasiin.

Gila! Mereka niat banget sih mau jodohinnya!

"Boleh saya ngomong sama Pak Arya?" Tanya gue.

"Sama calon suami gak usah ngomong bapak gitu dong," kata bokapnya Pak Arya.

"Iya, panggil aja Mas atau apa kek," kata nyokapnya Pak Arya.

Oke. Gue akan panggil dia om.


[Sudah Terbit] My Lecturer, My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang