Gue ngerasa takut banget sekarang karena Pak Arya masuk ke dalam mobil dengan sedikit membanting pintu.
Dia melepaskan topi dan maskernya dan melemparkan kedua benda itu ke jok belakang.
Sumpah kalau tau gini gue mending naik taksi online aja! Gue takut.
"Saya tanya sekali lagi, kamu minum?" Tanya Pak Arya dengan tajem.
Gue masih terdiam sampai bahu gue dicengkram sama Pak Arya dan dia membawa tubuh gue untuk menghadap kearahnya.
"Kalau di tanya tuh jawab,"
Gue gak berani menjawab dan cuma mengigit bibir gue karena takut.
Pak Arya memajukan wajahnya semakin dekat yang membuat gue memberingsut mundur, tetapi ia lebih cekatan dengan menahan tengkuk gue.
Dia mendekatkan hidungnya dengan bibir gue untuk mengecek bau alkohol disana yang membuat jantung gue berdetak enggak karuan.
Gue mengatupkan bibir gue rapat-rapat agar bau alkohol tidak keluar dari mulut gue. Tapi tangan Pak Arya malah masuk ke dalam baju yang gue pakai, hal itu membuat gue melotot kaget.
"Bapak ngapain sih?!" Teriak gue spontan.
Dan disaat itulah gue sadar kalau gue salah karena udah membuka mulut gue.
"Kamu minum," kata Pak Arya yang lebih terdengar seperti pernyataan untuk gue.
"Maaf," cicit gue.
Dia langsung menarik seatbelt, dan memakaikan itu di tubuh gue. Setelah itu dia membawa mobil dengan kecepatan tinggi ke apartemen.
Sesampainya di parkiran apartemen, dia langsung menarik gue keluar dari mobil dan sama sekali gak melepaskan pegangannya dari tangan gue. Dia membawa gue ke dalam kamar dan mendudukan gue di kasur.
Pak Arya mengambil kursi yang ada di kamar kami dan mendudukan dirinya di depan gue di kursi yang dia ambil.
"Sekarang jawab, kenapa kamu minum?" Desis Pak Arya tajem.
Gue tau dia galak di kampus, tapi gue gatau kalau dia bisa semenyeramkan ini.
"Jawab!" Kata Pak Arya dengan sedikit bentakan yang membuat gue tersentak kaget.
"Truth or dare," jawab gue jujur.
Gue bisa ngeliat Pak Arya menghembuskan napas dengan kasar setelahnya.
"Kesiniin dompet sama handphone kamu," kata Pak Arya yang membuat gue menyerahkan tas gue dengan takut-takut.
Dia mengambil credit card, uang tunai dan juga handphone gue.
"Mulai lusa kamu berangkat ke kampus sama saya, pulangnya juga harus temuin saya, dan saya yang akan memesankan taksi online untuk memastikan kamu sampai di rumah dan gak melipir kemana-mana."
"Gak ada uang tunai untuk kamu, kalau kamu perlu, pergi ke ruangan saya dan minta sama saya." Kata Pak Arya dengan nada yang tidak ingin dibantah.
"Bapak gak berhak mengatur hidup saya kaya gini!" Teriak gue gak terima.
"Saya yang paling berhak atas kamu saat ini karena saya suami kamu!" Bales dia gak mau kalah.
Gue melepaskan cincin pernikahan gue dan melemparnya, setelah itu gue mendorong tubuh Pak Arya yang ada di depan gue sehingga sedikit menjauh, dan gue masuk ke dalam selimut untuk menyembunyikan isak tangis yang gue tahan sedari tadi, dan gue tertidur akibat kelelahan.
****
Gue terbangun disaat matahari sudah cukup tinggi dengan kepala yang pusing akibat efek alkohol yang gue konsumsi semalam.
Pak Arya udah gak ada di samping gue yang gak gue pedulikan, mungkin dia udah ke gym karena hari minggu adalah jadwal dia di gym hampir sepanjang hari.
Gue hampir nyusruk terjatuh dari kasur saat mencoba bangun dari kasur dan menapakan kaki gue ke lantai untuk pergi ke kamar mandi.
Pintu kamar gue yang terbuka membuat gue tersadar kalau gue gak sendiri.
Gue ngeliat Pak Arya yang lagi berdiri di pintu kamar kami sambil ngeliatin gue.
Gue mau bangun tapi takut nyusruk dan diketawain sama dia, makanya gue lebih memilih untuk tetap diam.
"Masih mau minum lagi?" Tanya Pak Arya sarkas.
"Kalau ada kesempatan," jawab gue santai yang membuat Pak Arya berdecak.
"Kamu itu perempuan."
"Kok bapak jadi bawa-bawa isu gender gini?" Tanya gue gak terima.
"Jangan panggil saya bapak, kalau begitu kamu menarik kata-kata yang sudah kamu keluarkan kemarin. Saya bukan mengangkat tentang isu gender, saya gak peduli mau perempuan lain mabuk-mabukan atau menjual diri mereka di luar sana. Saya seperti ini karena kamu istri saya, calon ibu dari anak-anak saya."
Ngebahas anak membuat gue merinding duluan.
Gue bergerak gelisah di kasur karena urgensi untuk buang air kecil, tapi kepala gue masih pusing.
Pak Arya yang sepertinya sadar, menghampiri gue dan mempersiapkan diri untuk menggendong gue dengan gaya bridal style.
"Saya gak mau digendong kaya gitu, saya masih marah sama mas dan gak mau ngeliat muka mas."
Pak Arya langsung membalikkan tubuhnya sehingga punggungnya yang berada di depan gue, gue pun memposisikan diri untuk digendong di punggung Pak Arya.
"Kamu banyak nyusahin," kata Pak Arya.
Apakah doa gue terkabul lewat gue sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] My Lecturer, My Husband
HumorOrang bilang perkataan adalah doa, hal itu yang terjadi pada Inggita Almira Arundati. Karena tidak menjaga perkataannya yang suka ceplas ceplos Inggit harus mengalami kehidupan barunya bersama Sadewa Bentara Arya, dosen kaku nan galak di kampusnya y...