Sekarang gue lagi di meja makan sama Pak Arya karena kita abis makan malem, gue masih membuka kulit jeruk untuk diberikan ke Pak Arya saat dia bertanya, "Acaranya jam berapa?"
"Mulainya jam delapan malem,"
"Selesai jam berapa?"
"Seselesainya," jawab gue jujur.
Dia sempat terdiam dan menatap gue dengan kesal, sebelum kembali bertanya,
"Pergi sama siapa?"
"Pacar saya."
"Alamat tempatnya?"
"Cuma dua kilometer ke arah timur dari kampus."
"Alamat tepatnya," ulang Pak Arya dengan nada lebih tegas.
Banyak nanya nih kaya wartawan!
"Nanti saya kirim location kalau udah sampai."
"Emang saya sudah mengijinkan?"
"Kalau gitu ngapain nanya-nanya!" Timpal gue kesel sambil menaruh jeruk yang sudah selesai gue kupas di depan dia.
"Buat bahan pertimbangan," jawab Pak Arya.
"Ayolah mas... kan gak sering ini..." kata gue dengan memohon.
Gue bisa ngeliat Pak Arya menaikan sebelah alisnya sekarang, mungkin karena ini pertamakalinya gue memanggil dia dengan panggilan 'mas' bukan 'om' seperti biasa.
"Kenapa harus di Bar?" Tanya dia lagi.
"Sports Bar, bukan Bar biasa."
"Tapi tetap ada minuman beralkoholnya kan disana?" Tanya dia dengan menusuk.
Sialan gue di skak.
"Iya... tapi kan saya gak akan minum mas,"
"Siapa yang bisa ngejamin?"
"Saya."
"Saya gak percaya."
"Terus mas maunya gimana?! Mas ikut gitu?! Dan membuat semuanya tau kalau kita udah nikah?!"
"Itu option pertama," jawab dia masih dengan santai seolah itu bukan masalah besar.
Dasar keras kepala!
"Option lainnya apa?" Tanya gue masih mencoba bersabar, meski dalam hati udah dongkol banget.
"Saya yang anter kamu, dan saya jemput kamu saat tengah malem."
"Kalau acaranya belum selesai gimana?!" Tanya gue gak terima.
"Itu sih sepinter-pinternya kamu untuk mencari alasan aja,"
AAAAAAAAAAAKKKKHHHH! GUE MAU MARAAAAAH!
*****
Seperti biasa kalau malem gue akan berada di balkon apartemen untuk video call bersama teman-teman gue ataupun Kara, gue gak mau mengambil resiko Pak Arya lewat di belakang gue saat gue lagi video call sama mereka, bisa makin repot nanti.
Sekarang gue lagi video call sama Kara, dia minta maaf karena gak bisa ikut ke acara ulang tahun Altan karena harus menghadiri acara lamaran saudara sepupunya, dia juga baru tahu tadi karena orang tuanya baru bilang.
"Sepupu kamu umurnya berapa?" Tanya gue.
"Seumuran kita," jawab Kara.
"Perempuan ya?" Tebak gue yang diangguki sama Kara.
"Kok bisa nebak?" Tanya Kara.
"Ya, kalau perempuan seusia kita gak aneh untuk menikah, kecuali laki-laki, tapi kalau udah berpenghasilan juga gak masalah sih... Kalau masih kuliah kan jatuhnya jadi ngebebanin orangtua, kecuali untuk kasus kaya Yuda iim yang emang pada dasarnya di jodohin."
"Kamu mau nikah muda?" Tanya Kara tiba-tiba yang membuat gue salah tingkah.
"Ha? Ahahah... enggak gitu kok maksud aku."
"Jujur aja aku belum siap kalau harus menempuh jenjang itu sekarang, beban aku masih terlalu banyak menurut aku," jawab Kara yang membuat gue merasa miris.
"Aku ngerti kok."
"Kamu hati-hati disana ya? Nanti aku minta tolong Yuda atau Juna untu nganter kamu pulang setelah acara selesai. Jangan pulang sendirian oke?"
"Aku gak akan pulang sendirian kok," jawab gue dengan setengah meringis mengingat percakapan gue dengan Pak Arya tadi.
"Aku mau ngerjain tugas dulu, good night! Sleep well sayang," kata Kara sambil mengecup layar handphonenya yang gue balas dengan lambaian tangan.
"Semangat ngerjain tugasnya!"
Setelahnya gue pun menutup panggilan itu, dan kembali merenung kira-kira kapan dan bagaimana cara menyampaikan yang tepat kepada Kara.
Kalau iim waktu itu Johan di jelaskan sama ibunya, dan Johan juga yang melepaskan iim. Kalau gue ngarepin siapa yang ngejelasin ke Kara? Pak Arya? Dia aja gak peduli kalau gue masih punya pacar. HHHHH...
Gue ngedenger pintu balkon terbuka dan Pak Arya ikut menyusul gue ke balkon, "tidur, sudah malam."
"Besok kan bukan dosen galak yang ngajar jam pertama," kata gue mencoba cuek.
"Mau saya kunciin di luar sampai pagi?" Tanya dia.
Gue masih trauma dengan kata kunciin semenjak dia beneran ngunci gue di dalem mobil waktu itu, jadi gue memilih untuk beranjak masuk ke dalam.
"Kapan sih gak ngancem om?" Tanya gue kesel sambil ngelewatin dia gitu aja.
"Panggilan buat saya berubah lagi? Jadi kamu manggil saya mas cuma untuk diijinin ikut ke pesta Altan?" Tanya Pak Arya yang membuat gue menghentikan langkah gue dan terpaku.
"Saya belum memberikan ijin kalau kamu ingat," kata Pak Arya yang membuat gue membalikkan tubuh gue untuk menghadap dia
"Bapak ngancem saya?" Tanya gue gak abis pikir.
"Anggap saja ya," timpal dia dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.
"Saya kan udah setuju sama option nomor dua tadi!"
"Tapi saya belum mengeluarkan kata mengijinkan kamu untuk pergi,"
"Barusan bapak ngomong!" Kata gue gak terima.
"Itu contoh, bukan latihan soal,"
Dia ngelawak? Garing abis!
"Terus bapak maunya gimana?!"
"Berhenti panggil saya bapak atau om di luar kampus dan kamu bisa menjalani option kedua yang saya tawarkan."
"Gak adil dong itu namanya!"
"Saya bukan Tuhan yang maha adil," jawab Pak Arya yang membuat gue menganga gak percaya.
GUE MAU BELI SIANIDA BESOK!
KAMU SEDANG MEMBACA
[Sudah Terbit] My Lecturer, My Husband
HumorOrang bilang perkataan adalah doa, hal itu yang terjadi pada Inggita Almira Arundati. Karena tidak menjaga perkataannya yang suka ceplas ceplos Inggit harus mengalami kehidupan barunya bersama Sadewa Bentara Arya, dosen kaku nan galak di kampusnya y...