Prolog

46 6 3
                                    

Badrun terdiam sejenak. Beberapa menit lalu gurunya berkata padanya tentang apa impiannya, mau menjadi seperti apa dirinya, dan bagaimana tanggapan ia tentang masa depannya. Ia pun diam seribu bahasa. UN sebentar lagi akan menyambutnya, tetapi ia belum siap untuk menggapai masa depannya. Keinginan masuk universitas ternama pun tak terbesit di pikirannya sama sekali.

“Mungkin saya akan menjadi guru, Pak. Menjadi orang yang penuh tanggung jawab, dan anak-anaknya pun bisa mengerti saya dan semua tentang saya,” jawab Badrun yang ditanggapi oleh wali kelasnya dengan muka datar. Badrun pun tak lantas berpikir ia ingin bekerja dimana. Pikirnya, bekerja hanya merepotkan dan membuatnya seperti orang sibuk kebanyakan. Tak ada waktu untuk keluarga, teman, dan semuanya. Terkekang di kantor memikirkan bagaimana caranya mendapat uang yang banyak. Ya setidaknya itu yang membuat Badrun malas saat berpikir ingin menjadi apa di masa depan nanti.

Semenjak saat itu, Badrun hanya berpikir kemana ia akan melanjutkan pendidikannya. Dan setelah UN dan kelulusan, dia diterima di universitas ternama di Semarang. Situasi ini membuat ia harus pergi dari rumah dan meninggalkan kedua orangtuanya dan adiknya. Sedih pasti ada, namun dia berpikir mungkin saja akan sedikit mengubahnya agar ia menghilangkan rasa malasnya ini. Dia bahkan pernah berpikir bahwa dia benar-benar menjadi guru dalam suatu SMA, padahal saat ini dia berkuliah di jurusan Teknik Mesin.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, nampaknya dia tidak lantas berpikir ingin bekerja. Hanya saja, hatinya tergerak saat ia merasakan hawa pembunuh dari adiknya yang mulai dewasa. Setiap tahun ia mengunjungi orang tuanya, dan di ujung semester, adiknya selalu memperingatkan bahwa ia harus mendapat pekerjaan secepat mungkin setelah lulus kuliah. Semester tujuh menjadi rintangan terakhir sebelum ia menyelesaikan skripsi. Lantas pikirannya semakin luas. Dia berpikir bahwa dia menjadi seorang yang kaya, dan punya banyak kemewahan lainnya.

Namun nasib berkata lain sepertinya. Cita-citanya terwujud, menjadi guru geografi. Bahkan di tahun keduanya, dia menjadi seorang wali kelas dari kelas 3. Bukan kelas yang terbaik, tetapi kelas yang terburuk, yaitu kelas E. Dia berpikir kemalasannya akan berdampak pada siswa-siswanya nanti.

Tapi, sebaik mungkin dia akan membuat siswanya menjadi bergairah, sangat kreatif dan urusan hati yang tergerak untuk selalu menjadi yang terbaik. Bahkan ia akan menjadi guru yang bertanggung jawab. Badrun yakin dalam setahun, muridnya itu akan lebih baik.

Karena usaha yang baik menghasilkan hasil yang baik juga.

****

Hola holaa!!! Btw udah agak jauh nih. Ini novel pertama saya. Mohon maaf bila masih banyak kekurangan. Kritik dan sangat akan sangat membantu

Vote and comment yaa!!

Amazing ClassroomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang