9. Pepet sitik, JOSS!

1K 180 9
                                    

"Itu yang semalam kan yah wen?" Tanya Jihan saat naik lift bersama dengan Wendy. Sedangkan Agus yang berada disamping Jihan terlihat masa bodoh dengan memainkan smart-phonenya ditangan kanan dan tangan kirinya ia masukkan ke kantung celananya. Badannya juga ia senderkan di dinding lift.

"Ah iya itu mas Chiyo." Jawab wendy se-efektif mungkin. Dia malas terlalu berbasa-basi dengan Jihan, apalagi ada Agus disampingnya. Dia selalu mencoba membuat jarak dengan teman kantor yang dulunya seperti lem-sangat lengket- dengannya.

"Kapan-kapan teh. Bawa gitu ke acara kantor." Wendy menyerengitkan dahinya. Buat apa coba? Tanya wendy dalam hati.

"Hemm? Dia disini pas ramadhan doang." Balas Wendy tidak ingin mengabaikan Jihan.

"Nah udah tau gitu bawa kek ke acara kantor. Pas bukber minggu depan gih." Ini Jihan berasa maksain Wendy buat bawa Chiyo keliatannya.

"Kalau dia mau sih." Kata Wendy pada akhirnya. Dia malas pembicaraan ini terlalu berlarut-larut.

Tiing

Wendy pun sudah sampai dilantai divisinya.

"Yaudah. Saya duluan yah Jihan. Pak." Wendy berbicara formal dengan Agus. Seperti dulu, dan selalu begitu. Untuk apa juga ia memanggil Agus sebutan Bang seperti Jihan. Mereka tidak seakrab itu.

"Iyah. Ntar malam teraweh bareng yah Wen." Ajak Jihan sebelum Wendy sempat berbalik pergi. Dan Wendy hanya memberikan senyuman semanis yang dia mampu. Sebelum pintu lift tertutup.

Tuh kan Wendy tanpa sengaja tidak menghindari Jihan seperti dulu. Dia kini tidak lebih memilih menghindar menggunakan tangga darurat atau sengaja berlama-lama di lobby kantor ketika melihat Jihan dan Agus sedang di kantor bersama. Dia mencoba melakukan apa yang semalam disarankan oleh Chiyo. Belajar mengikhlaskan semuanya. Apalagi mumpung puasa.

🕌🕌🕌🕌🕌

Chiyo sampai dirumah dengan selamat. Ia langsung pulang begitu selesai mengantar Wendy. Pagi itu begitu cerah dan jalanan begitu lenggang. Memang tidak seperti biasanya. Yah karena hanya dipenuhi oleh pekerja kantor saja. Sedangkan anak sekolah masih diliburkan. Jadi yah tidak butuh waktu lama dijalan.

"Assalamualaikum." Chiyo memberi salam sambil memasuki rumah.

"Loh dek? Tumben rapi banget. Dari mana kamu?" Tanya Ibu Chiyo setelah melihat anaknya ternyata tidak berada dirumah sedari tadi.

"Itu bu nganterin Wendy. Kasian dia mobilnya mogok." Perkataan Chiyo membuat mata mamanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum lebar.

"Wendy kita?" Kata ibunya sambil menunjuk rumah sebelah dengan telunjuk. Dan tak lupa wajah bahagianya masih dengan senyuman merekah.

"Yah wendy siapa lagi bu emang ada yang lain?" Kata Chiyo langsung duduk di sofa ruang TV. Dia lagi nyari kartun di CN.

"Wah kemajuan pesat ini namanya." Gumamman ibunya bikin Chiyo mengerutkan kening. Dia antara dengar ngga dengar ama omongan ibunya. Tapi dia tau pasti ada kata kemajuan.

"Kemajuan apaan bu?" Mendengar pertanyaan Chiyo mamanya malah gelagapan.

"Ahh bukan apa-apa. Oiya itu ada undangan tadi." Pesan ibunya sambil berlalu kedapur.

"Dari siapa bu?" Tanya Chiyo mendapati undangan berbentuk amplop dengan namanya disitu sebagai alamat tujuan.

"Nggatau tuh. Nemu dipagar tadi. Pas Ibu nyapu halaman baru sadar ada undangan." Kata ibunya sambil masuk kekamar dia bersama sang suami.

"Walah ini mah si Sehan." Ujar Chiyo ngeliat nama salah satu sahabatnya di undangan tersebut.

"Zyulira. Wah lucu banget ini babynya. Cewe lagi." Kata Chiyo bermonolog setelah melihat gambar anak Sehan di undangan tersebut. "Aqiqahan sambil buka puasa bersama ternyata. Mayan lah reunian dikit"

🕌🕌🕌🕌

"Nebeng kamu yah." Mata wendy berbinar-binar harap pada salah satu teman kantornya. Seorang sekertaris si manajer keuangan yang kini sedang memperbaiki riasannya di toilet yang sama dengannya.

"Ke acara aqiqah anak si Juwita?" Tanya wanita sipit yang umurnya seleting dengan wendy. Panggil saja mba cantik ini Susi.

"Iya kita mampir dulu kesana baru pulang. Gitu ngga masalah kan ji?" Namanya sih Susi tapi karena kebiasaan dari SMA dapet panggilan sayang si Uji, maka melekatlah panggilan itu untuk wanita ini.

"Ayok aja. Kasian juga aku kalo sendirian kesana." Ujar Susi sambil memperbaiki riasan matanya. Mereka baru selesai sholat zuhur di musholah kantor dan mau balik lagi ke ruangan mereka jadi yah gini perbaiki riasan yang tadi kena air wudhu.

"Iya mblo, tau aja aku mah." Bisik Wendy bikin Susi merinding dengernya.

"Ihh. Jomblo ngejekin jomblo loooh." Susi jadi sewot tadi denger kata Mblo dan mulai membalas.

"Ahaha ngapapa sih emang jomblo." Susi menerima ejekan dan menghilangkan pikiran untuk membalas.

"Kamunya sih dipepetin pak Mino malah takut." Wendy mulai menggurui.

"Ngga sanggup dedek. Anak orang kaya. Apalah daku yang pulang pergi naek motor scoopy sedangkan dia mobil audy." Emang iya sih Pak Mino itu orang kaya. Mana ganteng juga. Susi-nya aja sampai bingung kenapa itu manusia setengah sempurna bisa demen ama dia.

"Jadi kamu kemarin nolak dia gegara minder." Tebak Wendy tepat sasaran. Tapi sepertinya Susi masih ragu dengan hatinya terbukti dia menimbang-nimbang opini Wendy itu dikepalanya.

"Yah gimana yah. Aku mau professional aja. Sekertaris dia doang ngga lebih. Aku takutnya ntar malah masalah luar dibawa-bawa kekantor." Akhirnya ia menemukan alasan lain untuk tidak menerima begitu saja opini wendy.

"Kamu suka ngga sih ama dia?" Wendy memberikan pertanyaan jebakan agar setidaknya Susi menjawab Iya, walaupun tersirat.

"Ngga tau deh wen. Semenjak di tolak kemarin dia biasa-biasa aja ke aku. Tapi akunya aja yang ngga enak kalo berdua doang diruangan dia." Susi malah jadi bingung ama perasaan dia.

"Kamu percayakan ama pepatah jawa?" Wendy mulai memancing agar Susi menjawab. Kalau ditanya ini sih pasti dia hapal. Dari jaman kuliah udah sering diskusiin masalah jodoh jadi pasti ini kata-kata selalu dibawa-bawa.

"Witing tresno jalaran soko kulino?" Susi memastikan jika maksud dari pepatah jawa adalah mengenai rasa cinta dapat tumbuh karena terbiasa bersama.

"Tuh pinter." Wendy memuji sambil menepuk sayang kepala Susi.

"Lagian kita udah umur segini. Dan mungkin ini jalan Allah kasih deket kamu ke Jodoh ji." Wendy menambahkan lagi sambil menatap Susi dari kaca lalu memegang kedua bahu Susi dengan wajah meyakinkan.

"Gitu yah?" Susi pun melihat Wendy dengan ekspressi bingungnya.

"Nah kamu sendiri gimana?" Kini Susi yang bertanya kepada Wendy.

"Aku mah anak pertama ji. Mending bahagia-in orang tua dulu baru nikah. Kasian juga Mina ama Herin kalo ntar aku tinggal nikah." Alasan Wendy selama ini ternyata adalah dia merasa kedua adiknya belum siap untuk ditinggal nikah. Padahal sepertinya ia hanya belum siap berkomitmen.

"Gitu yah?" Susi mengulagi kata ini lagi membuat Wendy gemas sendiri.

"Dari tadi gitu yah, gitu yah mulu ah." Wendy menjauh lalu menggunakan kaca disebelah sambil memperbaiki mascaranya.

"Kamu mah. Maklumin kali efek puasa ini." Susi pun memasukkan alat-alat make-upnya.

"Iya iya. Kuy balik. Ngamuk ntar mas Dion kelamaan ninggalin kubikel akunya. Lagian jam istirahat udah abis." Ajak Wendy sambil melihat Jam analog di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul 13:20.

"Yuks!" Susi pun menggandeng lengan wendy sambil jalan berbarengan keluar toilet.

Setelah perbincangan toilet itu berakhir mereka pun kembali lagi ke pekerjaan mereka seperti sebelumnya.

[Complete] Ramadan: Bulan Cinta | Wenyeol 2016Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang