Aku memencet bel, lalu beberapa saat kemudian pintu terbuka. Sosok Nami langsung muncul di balik pintu.
"Kakak!" seru Nami. Ia langsung menghambur memelukku dengan erat. Aku terkekeh, membalas pelukannya dengan perasaan yang sama. Rasanya kami benar-benar lama tidak bertemu.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku begitu ia melepas pelukannya.
Nami nyengir. "Baik." Ia mengamatiku sejenak. "Kakak masih nggak berubah," jawabnya sambil terkekeh.
Aku tersenyum. "Dan kamu semakin cantik," sahutku. Aku juga menyadari bahwa penampilannya kini semakin dewasa. Sejak dulu ia memang cantik, tapi kini kecantikannya semakin menonjol karena gari-garis kekakanakan sudah mulai hilang dari wajahnya. Berbeda denganku, ia memiliki badan yang tinggi dengan kaki panjang, rambut halus bergelombang, wajah tirus dengan sepasang mata besar hitam dan bibir merah melengkuk indah. Aura cerdas dan percaya diri muncul jelas dari caranya bersikap, lebih dari sebelumnya.
Nami kemudian menarik lenganku untuk masuk ke dalam. Aroma khas rumah ini langsung memenuhi penciumanku. Dan itu selalu berhasil membuatku kembali merasa aman seperti masa kecilku dulu.
"Aku sejak tadi sendiri di rumah. Bibi Ju sedang pulang kampung, Ibu sudah pulang tapi kini keluar lagi untuk membeli sesuatu, dan Ayah baru akan pulang jam 5 nanti," kata Nami.
Aku menoleh menatapnya. "Ayah masih di kampus?" tanyaku. Kukira hari ini ia akan pulang cepat.
Nami mengangkat bahu. "Sepertinya. Aku kurang tau. Ibu nggak bilang Ayah dimana."
Kami kemudian duduk di ruang keluarga. Nami menghempaskan badannya di sofa, lalu meraih remote TV dan mengganti channel dengan malas-malasan. Aku mengikutinya, duduk di sofa kecil sebelahnya sambil menuangkan air ke gelas. Aku meneguk habis segelas air itu, tiba-tiba menyadari tubuhku kehausan.
Aku kembali menatap Nami, menyadari ia kini sudah berselonjoran di sofa besar itu sambil mengayunkan kakinya dengan santai. Matanya menatap bosan ke arah TV.
"Bagaimana kuliahmu?" tanyaku kemudian.
Nami tidak melepas tatapannya dari TV. "Pusing, menyebalkan, melelahkan, banyak hafalan, banyak tugas, banyak ujian dan rasanya ini pertama kalinya aku menonton TV setelah sekian lama."
Aku terkekeh mendengar ucapan jujur Nami. "Tapi masih ingin tetap jadi dokter?"
Nami mencibir. "Sayangnya, ya."
Suara derik pintu kemudian terdengar. Aku mendongak dan mendapati ibuku sudah kembali. Ia membawa dua kantong besar berisi bahan makanan.
"Ana sudah sampai?-oh, sudah," tambahnya buru-buru begitu sudah melihatku. Aku lalu bangkit dan menghampirinya, kemudian memberikan pelukan padanya. Ia membalas pelukanku dengan cepat.
"Ayo, bantu aku menyiapkan makan malam," ujarnya kemudian.
Aku mengangguk dan mengambil kantong tersebut lalu mulai berjalan mengikutinya di belakang. Lalu begitu melewati ruang keluarga, Ibu kemudian berhenti. Ia menatap Nami yang masih bersantai di sofa itu. Nami mendongak dengan sikap manja, hanya tersenyum malas.
"Kenapa nggak istirahat di kamarmu?" tanya Ibu lembut.
Nami menggeleng malas. "Aku nggak mau terkurung di kamar lagi."
Aku dan Ibu kembali terkekeh. Lalu ibu mulai mengelus kening Nami dengan lembut, menyibakkan rambut yang terselip menutupi keningnya sebentar kemudian akhirnya terus berjalan ke arah dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Chaos (Equal #1)
ChickLitI'm The Plain Little Mouse. He is The Fabulous Raccoon. Aku, Jiliana, perempuan biasa yang pendiam, tidak suka menjadi pusat perhatian dan hanya ingin hidup tenang melakukan apa yang biasa aku lakukan dan aku rencanakan. Dia, Xeno, traveller tampan...