BAB 10 - Turn Off

940 153 30
                                    



Badanku masih membeku. Dan aku hanya bisa menatap kosong Mas Rava-lebih tepatnya meminta pertolongan, agar aku bisa lepas dari situasi ini.

"Kenapa?" Mas Rava yang akhirnya menjawab Xeno. Matanya masih terpaku padaku. Dan lagi-lagi Mas Rava sepertinya bisa mengartikan ekspresi wajahku tanpa perlu bertanya.

Suara erangan sebal terdengar dari dalam. "Pergilah, Rava. Dan suruh Jiji masuk."

Mas Rava menghela napas sambil memutar bola matanya, terlihat jelas mulai tidak sabar dengan sikap Xeno.

"Jiji, masuklah!" seru Xeno lagi, masih dengan nada datar yang sama.

Aku menelan ludah dengan susah payah, tenggorokanku kini terasa begitu kering. Dan kemudian aku sadar kini Mas Rava mulai mengamatiku sejenak dengan sorot aneh, seperti baru saja menyadari sesuatu. Aku tetap menunggu diam. Mungkin Mas Rava menemukan ide untuk menyudahi situasi ini.

"Kamu mau masuk?" tanyanya ragu.

Mataku membelalak kaget, sama sekali tidak menyangka ia akan mengatakan itu. Aku menggeleng cepat, seratus persen yakin dengan jawabanku. Tidak ada lagi keberanian yang tersisa di dalam diriku setelah mendengar apa yang sebenarnya terjadi di sini. Aku tidak yakin bisa berkomunikasi normal dengan Xeno.

"Tentu saja, apa yang kupikirkan?" gumamnya begitu pelan, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Ia kembali menoleh menatap pintu hitam itu. "Apa yang kamu inginkan? Bukannya kamu nggak ingin diganggu?" tanya Mas Rava tenang pada Xeno. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan apapun yang sedang terjadi saat ini-dan semua sikap menyebalkan Xeno sejak beberapa waktu lalu.

"Aku ingin melihatnya," jawab Xeno.

"Kalau begitu keluar."

Suara erangan berlebihan itu terdengar lagi. "Kamu pasti bercanda," jawabnya, seolah Mas Rava baru saja menanyakan hal yang benar-benar tidak masuk akal padanya.

"Kamu nggak bisa begitu saja menyuruh perempuan masuk ke kamarmu," ujar Mas Rava.

Lalu selama beberapa saat Xeno tidak lagi menjawab. Kami menunggu dengan diam.

"Fine, aku akan keluar," jawab Xeno dengan pelan.

Mas Rava mengangkat alis, terlihat kaget dengan reaksi Xeno. Ia kemudian menoleh padaku lagi, kini senyum mulai muncul di wajahnya. "Ini nggak pernah terjadi sebelumnya, bahkan sejak belasan tahun aku menyadari black moodnya ini. Dia sama sekali nggak pernah menginginkan siapa pun masuk ke dalam kamarnya, apalagi membuatnya terpaksa keluar dari kamarnya seperti ini. "

"Mungkin moodnya sudah kembali baik," gumamku.

Mas Rava menggeleng. "Nggak, bisa kujamin moodnya belum baik. Tapi-"

Krrakk.

Pintu hitam itu terbuka sedikit dan kami berdua langsung menoleh. Xeno kini berdiri di sana, menggunakan baju kaos hitam dan celana tidur hitam-sangat amat serasi dengan suasana hatinya, aku sadar itu. Ia kini menatap kami-aku, lebih tepatnya, dengan sorot mata datar tanpa ekspresi.

Aku tidak berani menatapnya untuk waktu lama, tapi kupaksakan untuk tetap melontarkan pertanyaanku. "Ka-kamu baik-baik saja, Xeno?" Suaraku kini terdengar begitu kecil. Tatapannya berhasil menghapus kepercayaan diriku dengan cepat.

"Kamu mau masuk?" tanyanya.

Lidahku kembali kelu. Jadi aku kembali menatap Mas Rava, meminta bantuan. Tapi kini ia menatap kami bergantian dengan sorot penasaran dan takjub.

Peaceful Chaos (Equal #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang