Aku membuka mata, menatap ponsel yang tergeletak diam di tepi tempat tidurku. Sinar pagi kini sudah sepenuhnya muncul, menyelip di balik tirai yang masih kubiarkan tetutup. Sekali pun aku tau kalau sekarang sudah melewati dini hari dan aku akan terlambat sampai ke kantor, tapi badanku masih belum mau bergerak.
Semakin hari badanku semakin meraung untuk tetap meringkuk, menolak menjalani hari-hari yang tetap berjalan. Harapan itu masih ada, tapi justru karena itu juga dadaku selalu sesak menyakitkan. Karena aku tahu masih belum ada penyelesaian dari semua mimpi buruk ini.
Sudah hampir 3 hari berlalu sejak berita itu muncul.
Dan semua harapan yang kumiliki sudah hilang sepenuhnya. Aku berharap akan ada penyelesaian dari semua ini dan berharap kalau semua orang pada akhirnya akan berhenti membicarakan berita itu.
Tapi tentu saja itu tidak terjadi. Semuanya justru semakin memburuk.
Tia masih belum bisa dihubungi. Sedangkan berita ini semakin heboh dibicarakan dan sudah cukup terlambat untuk menarik kembali artikel itu. Karena media lain sudah terlanjur ikut memberitakannya dan berita itu terus menjalar dari mulut ke mulut, membuat semuanya menjadi semakin besar-terutama karena status Xeno sebagai publik figur. Masalah pemberitaan bahwa cerita adopsi ini akan muncul di buku itu juga masih belum terselesaikan. Karena hingga sekarang Mas Rava masih berusaha bertemu dan membicarakan hal ini langsung dengan pihak Mediarra.
Lalu Xeno ...
Ia masih belum menjawab telpon atau pesanku. Aku tahu aku tidak boleh berharap lagi tentang hubungan kami. Aku sangat mengerti itu. Tapi setidaknya ... aku berharap ia bisa melihat permintaan maafku. Bahwa aku benar-benar menyesal telah mengecewakannya dan tidak bisa melindunginya.
Aku memejamkan mata, merasakan jantungku berdenyut nyeri lagi setiap kali memikirkan hal ini.
Di kantor, orang-orang terus mencoba mencaritahunya melaluiku. Beberapa dari mereka bahkan dengan terang-terangan mengajakku makan siang hanya untuk menanyakan masalah kebenaran dan cerita lebih detil dari berita itu. Cerita ini menjadi konsumsi publik, karena Xeno adalah publik figur. Dan semua orang seperti memiliki hak untuk perlu tahu tentang hal ini.
Hingga sekarang masih tidak ada yang mengungkit dan mencoba mencaritahu tentang Ana Ris si penulis biografi Xeno-seperti yang diberitakan waktu itu. Walaupun mereka pernah menanyakan padaku apakah aku mengenal Ana Ris, tapi topik itu tidak lagi disinggung. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu bahwa akulah Ana Ris.
"Aku lupa kalau hampir semua wanita di kantor ini adalah penggemar Xeno," ujar Jessi.
Aku mendongak, mendapati Jessi kini sudah berjalan menghampiri mejaku. Ia masih menatap gerombolan Mba Nana dari kejauhan dengan wajah malas.
"Kamu sudah makan siang?" tanyaku, berusaha kembali bersikap biasa saja.
Jessi menatapku sekilas, lalu menghela napas. "Kamu sudah makan siang?" tanyanya, mengulang pertanyaannya padaku dengan nada mengingatkan. Ia tahu sejak kemarin aku benar-benar berusaha menghindar dan berakhir tidak makan siang karena nafsu makanku semakin hilang.
Aku hanya meringis. "Sudah, barusan ..."
Jessi menatap mejaku dan tempat sampah di bawah kursi, menemukan kaleng kecil teh susu. Kurasa ia sudah menyadari bahwa aku tidak membawa bekal dan hanya meminum itu beberapa menit lalu. Ia menghela napas, lalu kemudian duduk di sebelahku dengan diam tanpa menyinggung itu lagi. Ia kini bersandar, sambil terus menatap kosong ke layar komputer Mba Nana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Chaos (Equal #1)
ChickLitI'm The Plain Little Mouse. He is The Fabulous Raccoon. Aku, Jiliana, perempuan biasa yang pendiam, tidak suka menjadi pusat perhatian dan hanya ingin hidup tenang melakukan apa yang biasa aku lakukan dan aku rencanakan. Dia, Xeno, traveller tampan...