Aku menatap kembali layar komputerku selama entah berapa lama. Pendengaranku terasa begitu sunyi, kosong tanpa suara apa pun. Dan mataku hanya terus terpaku lurus pada tulisan itu. Tidak ada rasa was-was atau pun kalut, malah sebenarnya aku tidak merasakan apa pun. Tapi aku bisa merasakan bahwa keputusan-keputusan itu kini semakin teguh menancap di hatiku, keputusan-keputusan yang seharusnya sangat tidak masuk akal untuk dilakukan oleh seorang Jiliana.
Senyum kecil muncul di sudut mulutku. Entahlah, kurasa aku sudah memutuskan untuk sepenuhnya percaya dengan diriku sendiri.
Triiitt.
Aku mengerjap, melepaskan diri dari lamunanku, menyadari kalau sejak tadi ponselku berkedip-kedip dan berdering keras. Bergegas kuraih ponsel, menatap layar ponsel. Nama Tia terpampang di sana-seperti yang sudah kutunggu sejak tadi.
"Halo," ujarku begitu aku menempelkan ponsel itu di telingaku.
"Jiliana," sahutnya dengan bersemangat. "Kami sudah membaca emailmu. Dan kurasa kita bisa memulainya besok."
"Benarkah?" sahutku kaget, tidak menyangka sama sekali.
Tia terkekeh pelan. "Ya. Rava dan aku sudah menemukan tempat untuk menerbitkan tulisanmu ini. Setelah itu kita bisa memulai menyebarkan beritanya lewat social media. Jessi juga sudah menghubungiku, memintaku untuk langsung memberikan link-link itu padanya besok untuk disebarkan. Jadi besok kita semua akan bergerak."
Aku menghela napas lega dan penuh rasa berterima kasih. "Syukurlah."
"Ya. Aku yakin ini akan sangat membantu," ujarnya.
Senyum kembali muncul di wajahku. Aku benar-benar tidak bisa meluapkan betapa berterima kasihnya aku pada bantuan yang mereka semua berikan padaku untuk hal ini.
"Jiliana," panggil Tia kemudian. Suaranya kini sedikit melunak.
"Ya?"
Tidak ada suara terdengar beberapa saat.
"Kamu benar-benar yakin dengan hal ini?" tanyanya hati-hati.
Aku terdiam, mengerti apa yang ia maksud. Dan lagi-lagi rasanya aku merasa begitu yakin dengan tindakanku. Senyum kecil itu masih belum terhapus di wajahku, justru kini semakin melebar.
"Aku sudah nggak takut lagi, Tia," jawabku. "Aku yakin langkah ini yang terbaik untuk semuanya."
Tia menghela napas puas. Ia kemudian terkekeh pelan. "Hanya itu yang perlu kudengar."
Aku mengangguk lalu kemudian terdiam sejenak. Hal yang sejak tadi memenuhi lamunanku kembali muncul. "Tia," panggilku.
"Hm?"
"Apa acara launching buku ini tetap dilakukan lusa?" tanyaku.
"Ya, seperti jadwal semula." Ia terkekeh pelan. "Dan kurasa reporter yang datang akan semakin banyak, terutama setelah tulisanmu ini muncul. Memangnya ada apa?"
Aku menelan ludah, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut berbicara.
"Aku ingin ikut," ujarku akhirnya.
Tia kembali tidak bersuara selama beberapa saat. Ia jelas-jelas menyadari maksud perkataanku. Aku ingin benar-benar menghadirinya, bukan hanya sekedar ikut melihat dari belakang, tapi berada di dalam jajaran panel bersama dengan mereka dan membantu menjawab pertanyaan dari reporter di sana.
Juga disorot kamera untuk siaran publik.
"Kamu serius?" tanyanya dengan hati-hati.
Semua hal itu adalah hal-hal yang paling ingin kuhindari sejak aku memutuskan ikut dalam proyek ini. Sejak awal aku sudah mewanti-wanti untuk tidak ikut dalam kegiatan promosi buku ini, apa pun kegiatan yang membuatku untuk muncul di publik. Karena itulah aku tetap ingin merahasiakan nama asliku untuk buku itu, memberikan sedikit informasi untuk kolom profil penulis di bagian belakang buku tersebut. Aku selalu berusaha menyelipkan semua permintaan ini setiap kali meeting dengan Tia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Chaos (Equal #1)
ChickLitI'm The Plain Little Mouse. He is The Fabulous Raccoon. Aku, Jiliana, perempuan biasa yang pendiam, tidak suka menjadi pusat perhatian dan hanya ingin hidup tenang melakukan apa yang biasa aku lakukan dan aku rencanakan. Dia, Xeno, traveller tampan...