Note from writer: Ada revisi sedikit ya, bab sebelumnya aku menulis kalau 'Jiji Xeno ke New York'. Mereka bukan ke New York, tapi ke Washington DC. Sorry my bad :P okay enjoy reading!
Lampu tanda sabuk pengaman redup. Dan beberapa orang langsung mulai bergerak bebas, memposisikan diri untuk bersantai untuk 7 jam ke depan.
Aku melirik Xeno yang sejak tadi menatap jendela dengan diam. Ekspresinya sama sekali tidak bisa terbaca sedikitpun. Dan ini sudah berlangsung sejak kami di bandara tadi. Aku benar-benar tidak bisa mengartikan setiap sikapnya. Ia terlihat menjaga jarak tapi pada saat bersamaan terlihat begitu kesepian dan tidak ingin dibiarkan sendiri.
Aku juga tidak tahu apakah ia benar-benar menginginkanku berada di sini sekarang. Mungkin saja ia sudah berubah pikiran sejak seminggu lalu setelah ia mengajakku di telpon waktu itu. Sesekali ia memang menoleh padaku, sekedar bertanya apa aku perlu sesuatu, selimut atau pertanyaan remeh lainnya. Seolah ia sadar apa yang sedang kupikirkan dan ingin menunjukkan kalau ia menghargai keberadaanku di sini. Bahwa ia tidak menyesali keputusannya mengajakku pergi, namun masih tidak tahu harus berbuat apa padaku.
Sikapnya tersebut sudah cukup bisa membuat pikiranku terus terjaga di saat aku seharusnya memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat-seperti penumpang lainnya. Tapi aku sendiri juga menyadari kalau Xeno pun juga tidak bisa tidur.
Saat kami akhirnya sampai di Tokyo dan menunggu transit selama 1 jam lebih, barulah ia mulai menyentuhku. Ia membiarkanku menggenggam tangannya selama kami duduk di ruang tunggu sementara aku menyandarkan kepalaku pada bahunya.
Tapi Xeno masih tidak berbicara banyak.
Aku terus berusaha menerka-nerka arti sikap diamnya ini, mengeluarkan semua kemungkinan yang ada di benakku sejak tadi. Mungkin ia sedang mengidap black mood lagi? Tapi aku cukup tahu bukan itu yang terjadi di sini. Walaupun gejala dan ciri-cirinya hampir sama dengan itu. Tapi aku yakin ini bukan black mood. Bukan karena aku sudah pernah melihat gejala dan sikapnya saat black mood itu, tapi karena ... perasaanku mengatakan hal lain.
Ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti ini dan aku begitu pengecut untuk mencoba menanyakan hal tersebut padanya. Apa ini tentang hubungan kami? Tentang sikapku? Atau tentang hal lain? Sesuatu yang tidak pernah ia ungkit sebelumnya padaku?
Aku menarik napas pelan. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak melepas kekalutan itu di dalam diriku agar aku tidak lagi merusak suasana ini. Aku sudah cukup kaget mendapatinya mengajakku ikut bersamanya dan itu sudah cukup bagiku sekarang. Aku percaya pada Xeno. Dan aku tahu ia pasti akan menjawab seluruh pertanyaanku nanti.
Saat kami akhirnya kembali ke pesawat, langit sudah gelap. Di Tokyo sudah menunjukkan jam 19:10. Dan kami akan berada di atas selama 12 jam sampai akhirnya mendarat di Virginia.
Beberapa orang sudah langsung bersiap untuk kembali tidur, pramugari mulai sibuk berlalu lalang melayani dan mengantarkan selimut pada para penumpang. Namun beberapa ada yang masih memesan makanan setiap kali pramugari dengan troli dorong itu melewati kursi mereka.
Aku kembali menoleh menatap Xeno yang kembali menatap ke luar jendela.
"Kamu mau makan sesuatu?" tanyaku akhirnya.
Ia menoleh, menatapku sekilas. "Nggak, nanti saja." Kemudian pandangannya kembali terpaku ke luar jendela.
Aku terdiam, mengamatinya dengan perasaan berkecamuk. Ia belum makan apa-apa lagi sejak kami di pesawat menuju Tokyo tadi dan hanya meminum segelas air selama kami menunggu di ruang tunggu transit tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Chaos (Equal #1)
ChickLitI'm The Plain Little Mouse. He is The Fabulous Raccoon. Aku, Jiliana, perempuan biasa yang pendiam, tidak suka menjadi pusat perhatian dan hanya ingin hidup tenang melakukan apa yang biasa aku lakukan dan aku rencanakan. Dia, Xeno, traveller tampan...