Ia memiliki mata dan rambut ikal coklat yang sama persis dengan Xeno. Bocah itu seperti versi mini Xeno, seperti yang pernah kulihat di album foto saat Tante Laras menunjukkannya padaku beberapa waktu lalu.
Selama beberapa saat pandangan kami bertemu. Dan detik berikutnya bocah lelaki itu kembali berbalik, meneruskan permainannya dengan bocah perempuan itu. Ia jelas-jelas tidak terlalu memusingkan keberadaan kami. Ia mungkin sudah terbiasa melihat mobil-mobil yang menepi di pinggir jalan sekitaran jalan perumahan ini, tidak ada bedanya dengan beberapa mobil yang terparkir di depan kami.
"Ehm ... Sorry, do you want to drop off here or ..." Suara supir taksi itu langsung menarik kami kembali dari lamunan.
Aku langsung menoleh dan mendapati supir taksi kini menatap kami dengan bingung. Itu menyadarkanku. Kami setidaknya sudah berdiam di sini sejak 5 menit lalu.
"Wait for a second." Xeno menjawab sebelum aku sempat membuka mulut untuk menjawab.
Supir taksi mengangguk santai. "Okay. No problem."
Aku menoleh, mengamati Xeno yang kembali menatap bocah lelaki itu lagi. Ekspresinya sama sekali tidak bisa kubaca. Tapi aku bisa menyadari bahwa ini benar-benar menganggunya.
"Xeno," panggilku pelan.
Pandangan Xeno masih tetap terpaku pada bocah itu, masih larut dalam pikirannya. Dan aku mulai ragu apakah ia masih menyadari keberadaanku saat ini.
Xeno membuka mulutnya. "Apa menurutmu anak itu ..." ia tidak melanjutkan ucapannya.
Sebelum ia kembali berbicara, kami mendapati sosok ibu paruh baya berumur sekitar 50an muncul keluar dari teras rumah tersebut. Ia mengenakan blouse dan rok biru polos dengan celemek berwarna coklat gelap melingkar di pinggangnya. Wanita itu turun dari tangga kecil, terus berjalan menghampiri kedua bocah tersebut.
Aku menyipit, mencoba menatap wanita itu lekat-lekat. Apa itu ibu kandung Xeno?
"Come on, Lusi, Kevin. It's time to take a bath," serunya dari kejauhan.
Kedua bocah itu mendongak menatap ibu paruh baya itu dan langsung mengeluarkan suara protes dengan mimik muka kecewa. Tapi mereka akhirnya tetap berdiri, meskipun mata mereka masih tertuju pada sesuatu yang ada di rumput itu.
Begitu sampai di hadapan mereka, senyum sayang muncul di wajah ibu paruh baya tersebut. Seolah ia sendiri tidak tega menghentikan keasyikan kedua bocah itu bermain. Ia membungkuk, kemudian mulai membersihkan noda debu yang menempel di baju Lusi-bocah perempuan itu.
Sebelum aku sempat mengeluarkan pertanyaan pada Xeno tentang wanita itu, pandanganku sudah beralih pada sosok wanita yang kini baru saja keluar dari rumah itu.
Dan aku langsung tertegun.
Bahkan dari kejauhan pun aku bisa melihat betapa cantiknya wanita itu. Ia memiliki kulit sedikit gelap, sawo matang-tipikal orang Indonesia. Kurasa usianya tidak lebih dari 45 tahun. Ada aura percaya diri yang kuat mencuat di dirinya. Badannya tinggi, ramping dan memiliki rambut hitam pekat yang kini disanggul kecil dengan sangat rapi.
Dan semakin mendekat, aku bisa semakin melihat beberapa kemiripan di wajahnya dengan Xeno. Mata dan juga rambut ikalnya, membuatku jantungku berdesir aneh.
"Itu dia," gumam Xeno. "Carla ... Wagner."
Aku tertegun, menyadari bahwa Xeno baru saja menjawab pertanyaan yang ada di pikiranku saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peaceful Chaos (Equal #1)
Chick-LitI'm The Plain Little Mouse. He is The Fabulous Raccoon. Aku, Jiliana, perempuan biasa yang pendiam, tidak suka menjadi pusat perhatian dan hanya ingin hidup tenang melakukan apa yang biasa aku lakukan dan aku rencanakan. Dia, Xeno, traveller tampan...