Sebagian besar keluarga inti Yatalana sudah berkumpul di depan ruang UGD ketika Aras dan Widya datang. Rama, ayah Aras memeluk Sera yang tengah menangis. Secara bersamaan mereka menoleh ke arah Aras dan Widya.
"Gimana keadaan nenek, Yah?" tanya Aras kepada ayahnya.
"Jantungnya, Ras," jawab Rama singkat.
"Kena serangan sehabis sarapan." Sera menambahkan. Ia masih terdengar terisak, namun terlihat sudah cukup mampu mengendalikan diri.
Aras kali ini menoleh mencari-cari keberadaan Widya. Saat Aras berbincang dengan ayahnya, Widya mendekat ke depan pintu ruang UGD.
"Ngapain?" tanya Aras.
"Nungguin Nenek."
Aras menunjuk kursi di ruang tunggu. "Kamu duduk di sana saja."
"Eh?" Widya mengalami sedikit turbulensi saat Aras memegang bahu kanannya. Ia pun tersadar bahwa baru saja Aras memanggilnya dengan sapaan "kamu". Kata itu memang dipakai Aras ketika berada di tengah keluarganya.
"Iya."
Aras kali ini membimbing Sera duduk bersama mereka di bangku besi yang masih kosong. Sera dan Aras memang sangat dekat dengan nenek mereka, sehingga saat terjadi sesuatu kepada nenek, aura kesedihan begitu terasa. Bedanya, Aras yang seringkali bertindak sebagai penopang. Sama seperti ketika ibu mereka meninggal 5 tahun lalu, sekalipun sangat berduka, sebagai satu-satunya anak laki-laki justru ia yang terlihat paling tegar.
"Nenek bakal baik-baik aja, Mbak."
Sera mencoba mengangguk. "Ini udah serangan kesekian, Ras. Mbak takut."
Usia nenek mereka sudah mencapai 77 tahun. Sekalipun usia beliau memang sangat tua dan rentan penyakit, mereka berharap beliau akan selalu sehat.
"Mbak tenangin diri dulu. Aku ambilkan minum ya?"
"Ini, Mbak."
Widya menyodorkan air mineral botol setelah Aras menawarkan untuk mengambilkan minuman. Di tengah perjalanan tadi, mereka sempat singgah membeli air mineral dan minuman kaleng. Itu ide Widya dan ternyata memang dibutuhkan di saat seperti ini.
"Makasih, Dy," ucap Sera mencoba tersenyum.
Widya mendekatkan posisi duduknya, dan memeluk bahu Sera.
"Kita berdoa sama-sama ya, Mbak. Semoga nenek baik-baik saja."
"Iya," angguk Sera.
Aras beranjak dari kursi ketika pintu ruang UGD terbuka. Ayahnya yang lebih dahulu mendekat ke pintu, bertanya kepada dokter yang baru saja keluar.
Dokter laki-laki berkacamata tersenyum kepada mereka. Dari informasi yang disampaikan dokter, nenek sudah dalam keadaan sadar. Tinggal mengupayakan pemulihan kesehatan beliau melalui opname.
Seharusnya tidak ada yang perlu dicemaskan.
***
Siang itu juga nenek Adilla dipindahkan ke ruang ICU. Tidak ada satupun dari mereka yang meninggalkan rumah sakit. Semuanya masih menunggu kesempatan untuk bisa menemui nenek Adilla sekaligus memastikan keadaannya secara langsung.
Setelah bersama melihat keadaan nenek, Widya mengikuti langkah Aras keluar dari ruang ICU.
"Lo pulang saja duluan," ucap Aras setelah mereka berada di teras ruangan yang pintunya telah tertutup rapat.
"Aku mau tinggal sebentar lagi," balas Widya. Ia merasa masih terlalu cepat untuk pulang. Lagipula, Aras juga masih ada di sana.
"Setengah jam lagi kalo gitu." Aras berkata lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELIEVE IN LOVE (Love #1) -Completed-
General Fiction(CHAPTER2 EMESH DIPRIVATE) Highest rank #1 General Fiction May 12nd 2017, #3 General Fiction May 4th, 2017 :), #2 General Fiction May 5th, 2017 Lika-liku pernikahan seorang Widya Anandari dan Aras Yatalana. Cinta, gengsi, cemburu. Aku masih sangs...