"Nggak diangkat, Kal?" tanya Elang yang duduk bersamanya di salah satu sudut kafe di Grand Indonesia. Mereka beberapa kali membuat janji bertemu, di tempat yang berganti-ganti, dengan topik pembicaraan selalu tentang Aras dan Widya.
"Nggak. Padahal aktif," jawab Kalya. Ditiupnya poni yang mulai memanjang sampai di atas kedua alisnya. "Aras udah benar-benar ngelupain gue ya?"
"Udah. Nanti aja lo hubungi lagi. Minum dulu kopi lo," ajak Elang yang kini juga menyodorkan potongan blueberry crumble yang dipesan Kalya namun belum disentuh sampai sekarang gara-gara Kalya terlalu sibuk terus menghubungi Aras.
"Ntar. Gue hubungi sekali lagi," tolak Kalya. Ia kembali menekan tombol panggil, dan menunggu dengan semakin tidak sabar.
Kalya masih menunggu sampai panggilannya tersambung kembali, namun lagi-lagi hasilnya nihil.
Akhirnya ia pun menyerah dan berbalik menghadapi pesanan kopi dan kuenya.
Elang tersenyum prihatin. "Mereka udah bahagia."
"Gue nggak pernah ikhlas, Lang. Bisa-bisanya Aras lebih milih Widya daripada gue. Di mana janji manisnya dulu?" Kalya mendengus keras. "Gue benci sama pembohong!"
"Tapi lo bilang Aras udah jujur ke lo soal perasaannya ke Widya."
"Iya, tapi nggak sampai ninggalin gue dan milih Widya!" Kalya menyeruput kopinya sekali teguk lalu meletakkan kembali cangkir ke tatakannya dengan gusar. "Lo liat aja gimana gue bakal berantakin hubungan mereka."
Elang tertawa. "Udahlah. Lo terima nasib lo aja."
"Nggak bisa gitu dong, Lang. Aras udah bohongin gue. Hubungan gue selama bertahun-tahun sama Aras, kayak nggak ada artinya di mata dia." Kalya menyipitkan mata, skeptis dengan segala ekspresi Elang yang sejak tadi jika tidak tersenyum juga tertawa.
Elang tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Posisinya sebagai perempuan yang pernah dicintai Aras, kini harus merelakan posisinya digantikan oleh perempuan lain yang dulunya ia anggap tidak akan pernah menarik perhatian Aras.
Tapi seiring waktu berlalu, Aras malah berpaling darinya. Jika saja ia bisa memprediksi hal tersebut, tentu saja ia tidak akan pernah membiarkan Aras menikahi Widya.
"Jadi, gimana? Lo siap kan bantuin gue?" tanya Kalya.
"Gue belum mikir ke situ."
Kalya menatap Elang. "Lang, lo serius mau bantuin gue nggak sih?"
"Gue nggak tau, Kal."
Kalya menggeleng-geleng. Sebenarnya Elang ini maunya apa? Jika ia memang mau membantu, mengapa harus terlihat ragu seperti ini?
Jangan-jangan ia berubah pikiran.
"Lo masih mau dapetin Widya? Ya lo inisiatif dong." Kalya lalu mengingatkan Elang. "Lagian, lo kenapa sih jadi pasrah begitu? Kalo mau, lo perjuangin cinta lo sampai dapat."
"Tapi gue udah ikut bahagia kalo Widya bahagia."
"Ah, basi!"
Elang membalas tanpa pikir panjang. "Lo sama gue aja, biar lo nggak payah ngejar Aras lo itu. Kita kan senasib? Biar gue juga nggak perlu capek terus ngejar Widya."
"Lo nawarin diri lo sebagai alternatif?" Kalya memasang tatapan menantang.
"Lo nggak bisa liat gue sebagai laki-laki?"
Kalya menyeruput kopinya perlahan. Sekalipun pernah memiliki hubungan dengan Elang, tapi waktu itu kan ia hanya menganggap Elang sebagai cowok yang cukup enak diajak ngobrol namun bukan cowok yang menjadi targetnya. Sejak dulu, ia selalu lebih menyukai kepribadian Aras yang lebih menantang untuk ditaklukkan. Elang itu terlalu baik, pantas saja sering ditinggalkan cewek.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELIEVE IN LOVE (Love #1) -Completed-
General Fiction(CHAPTER2 EMESH DIPRIVATE) Highest rank #1 General Fiction May 12nd 2017, #3 General Fiction May 4th, 2017 :), #2 General Fiction May 5th, 2017 Lika-liku pernikahan seorang Widya Anandari dan Aras Yatalana. Cinta, gengsi, cemburu. Aku masih sangs...