25th

16.7K 2.2K 79
                                    

Bagaimana rasanya berdiri berhadap-hadapan dengan perempuan yang kamu ketahui adalah pemilik hati suamimu sendiri?

Widya tidak sempat menanyakan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri setelah ia mengulurkan tangan menyambut uluran tangan Kalya.

Hanya membalas senyum Kalya saja ia sudah merasa terintimidasi. Tidak seharusnya begini. Ia sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, termasuk ketika saat seperti ini tiba. Ia, berhadapan langsung dengan perempuan yang memiliki lebih banyak peluang untuk memenangkan hati laki-laki manapun.

Pengandaian dirinya sebagai remahan, rasanya tidak cukup mewakili.

Ia mungkin tidak terlihat oleh siapapun, termasuk oleh Aras yang kini tengah memandang Kalya dengan tatapan penuh cinta.

Well, ia pasti akan baik-baik saja. Ia tidak akan pingsan saat itu juga. Buktinya ia masih bisa tersenyum, berarti seharusnya tidak ada masalah kan?

"Kamu pulang sama siapa?" tanya Aras kepada Kalya.

"Sama Anik. Tadi juga nebeng mobilnya. Ya kan Nik?" Kalya merapikan posisi tas selempang yang menggantung di bahu kanannya. Widya melirik perutnya.

Bahkan ia punya perut ramping dan rata seperti yang ia idamkan.

Jangankan Aras dan Elang, laki-laki normal manapun tidak akan melewatkan perempuan dengan fisik sesempurna Kalya. Oh, dan ia juga punya lesung pipi.

Ia yakin, Aras tidak akan melepaskan perempuan itu untuk alasan apapun. Pantas saja Aras tidak pernah bisa melihat dirinya sebagai seorang isteri.

Aras jatuh cinta begitu dalam kepada perempuan itu.

"Dy."

Aras memanggilnya pelan.

"Ya?"

"Kamu duluan saja nunggu di mobil. Nanti aku nyusul."

Bahkan kini Aras menyuruhnya menyingkir.

"Kamu masih mau ngobrol?" Rasanya Widya terlalu bodoh saat menanyakan pertanyaan itu. Bukankah seharusnya ia segera angkat kaki dari sana?

"Mmh."

"Masih lama?"

Aras menatapnya beberapa detik, seperti berkata "kenapa cerewet sekali?"

"Oke. Aku tunggu di mobil. Duluan ya semua."

Widya berbalik secepat yang ia bisa. Ia harus menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Argh. Kenapa matanya malah terasa memanas?

"Dy."

Itu suara Elang. Terlalu larut dalam perasaannya sendiri, ia sampai melupakan kehadiran Elang di sana. Tapi ia sedang tidak ingin bersama siapapun. Sekalipun Elang datang untuk memastikan ia baik-baik saja.

"Dy, tunggu."

Widya mempercepat langkah, lupa jika ia sedang memakai sepatu berhak. Kontur paving block menuju tempat parkir tidak begitu rata.

Ia bisa saja tersandung, tersaruk, atau apapun namanya.

"Dy."

Saat itu Elang sudah mencekal pergelangan tangannya.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Ya, aku baik-baik aja." Widya mengukir senyum di wajahnya, tapi ia tidak pernah berhasil melakukan kamuflase di depan Elang.

"Dy, aku anter pulang ya?"

"Aku nggak apa-apa kok, Lang. Aku tunggu di mobil aja."

Elang kali ini menahan kedua lengannya, memaksa Widya menghadapnya.

"Kamu cemburu."

Widya menggeleng. "Nggak mungkin, Lang. Aku nggak mungkin cemburu."

"Kamu hampir nangis, Dy. Aku tau kamu nggak pernah bisa bohong. Sejak Kalya muncul, kamu udah kelihatan nggak baik-baik saja."

"Kamu nggak tau yang kamu omongin, Lang. Kamu nggak tau apa-apa."

"Aku nggak bisa liat kamu begini terus. Akan jauh lebih baik kamu nggak sama Aras." Elang membuang napas. "Aku bisa bahagiain kamu dibanding dia yang nggak pernah melihat kamu."

Widya menunduk.

"Maafin aku, Lang. Aku harusnya nggak bersikap begini."

"Kamu nggak butuh laki-laki seperti Aras. Kamu butuhnya aku, laki-laki yang sayang dan cinta sama kamu."

"Trus kenapa kamu nggak pernah cerita soal Kalya?" Widya balik menodongkan pertanyaan.

"Karena aku udah nggak mikirin dia lagi. Aku memang pernah naksir, tapi dulu. Sejak kenal kamu, aku nggak pernah suka sama perempuan lain."

Widya terdiam, tapi kali ini ia menatap Elang dengan yakin.

"Aku harap kamu jujur."

Elang mengangguk. Matanya menangkap sosok yang tengah berjalan mendekati mobil di belakangnya. "Aku pergi dulu. Aras udah datang."

Widya langsung saja masuk ke dalam mobil setelah Elang kembali dengan tujuan menuju halaman. Selang semenit kemudian, Aras masuk dan duduk di belakang kemudi.

"Gue pamit sama guru-guru dan teman-teman gue," jelas Aras saat memakai seatbelt. "Dia ngomong apa aja tentang gue?"

"Nggak ada. Dan kalaupun ada, kamu nggak perlu tau." Widya ikut memasang seatbelt. Ia berharap ucapan tadi terdengar cukup ketus sehingga Aras tidak perlu bertanya lebih lanjut. "Ngomong-ngomong, perfect juga ya si Kalya itu. Pantas saja mata kamu terus fokus ke dia."

"Gue anggap ucapan lo ini bukan karena cemburu." Aras memasukkan kunci dan memutarnya. Deru halus mesin Audi mulai terasa.

"Sori? Cemburu? Kamu mungkin yang  cemburu sama aku dan Elang."

"Semoga saja gue memang cemburu sama kedekatan kalian berdua. Gue aminin aja biar lo senang." Aras terdengar cukup tenang menanggapi tudingan Widya. Ia masih memanuver mobil keluar dari barisan mobil lain yang masih terparkir.

"Aku mau cerai, Ras."

***

BELIEVE IN LOVE (Love #1) -Completed-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang