Walaupun Ari berhenti, sepasang mata tak sedikitpun menatap ke arah Raka.
"Kalau saja gue bisa hidup lebih lama, mungkin gue bakal perjuangin Aisyah. Tapi.. "Belum sempat Raka melanjutkan kalimatnya, satu bogeman kembali mendarat di pipinya. Raka bena-benar tersungkur.
"ARI!. "Teriak Kikan mendekati Raka.
"Bukan gitu caranya! Nggak ada apa cara yang lebih biadap dibandingkan sakitin hati Aisyah. Seharusnya lo itu jujur sama dia, di sisa-sisa hidup lo. Gue udah tau, sejak puluhan obat itu ada di tas lo. Tapi gue nggak ngomong, supaya lo bisa jujur sendiri. "Jelas Ari panjang dengan nada tinggi yang mulai memenuhi ruangan luas itu.
"Terus gue harus gimana? Gue bego, bego. "Ucap Raka sambil memukul kepala keras berkali-kwli, begitu juga Kikan yang terus menerus mencegah bogeman mendarat di kepala Raka.
Ari tak menggubris, dari wajah marahnya dia pergi berlalu dari dua orang itu.
"Ari!. "Teriak suara parau yang berhasil membuat Ari seketika berbalik.
"Aisyah. "Gumam Ari mendekati Aisyah yang berdiri di ambang pintu.
"Seharusnya lo istirahat. "Ucap Ari menatap ke sepasang iris cokelat milik Aisyah.
Sudah dapat diduga, Aisyah pasti dapat mendengar teriakan-teriakan amarah itu. Aisyah tersenyum ke arah Ari.
"Raka, maafin gue ya selalu buat lo terus dalam kesulitan. Sejak kita sahabatan gue seseorang yang lemah selalu bergantung. Maafin gue. "Ucap Aisyah mendekati Raka.
"Lo nggak perlu minta maaf. Maafin gue yang nggak berani utarakan perasaan. Aku Cinta sama Kamu. "Ucap Raka menatap Aisyah berkaca-kaca.
"Sudahlah, biarlah itu jadi pelajaran. Udah sama-sama dewasa kan. Udah pada ngerti pasti. Dan maaf gue bukan seorang Aisyah yang dulu lagi. Karena gue sudah pindah ke lain hati. "Aisyah menatap ke arah Ari di akhir kata.
Sebuah rasa baru itu sudah muncul ke permukaan. Tapi memang harus ada yang dikorbankan. Aisyah sadar, Cinta bukan hanya soal perasaan tapi Cinta juga tentang perlakuan. Aisyah dapat semaunya pada diri Ari.
-tamat-