Mikoto memandang sedih menantunya dari balik kaca. Hari ini, dia menemani Naruto ke Rumah Sakit. Katanya gadis itu bosan berada dirumah. Tidak ada yang bisa dikerjakan lagi.
Sebagai seorang ibu, hatinya terasa sakit melihat kondisi Naruto. Anak itu tidak pernah merengek sejak kecil. Bahkan dipemakaman orang tuanya. Dia hanya diam, tidak berniat bertanya sedikitpun pada dirinya.
Saat ditanya kenapa tidak menangis? Bibir mungilnya berkata lirih, "Ayah dan Ibu orang yang baik, jadi tidak perlu ditangisi kepergiannya."
Hati Mikoto terenyuh. Dia hanya bisa memeluk erat sosok yang belum genap sepuluh tahun itu sambil menangis.
Akhirnya Mikoto memutuskan untuk mengangkat Naruto menjadi anaknya atas persetujuan Fugaku. Tapi tubuh Naruto lemah, dia lebih sering masuk Rumah Sakit dari pada pulang ke rumah.
Kalaupun pulang, gadis itu tidak mau pulang ke kediaman Uchiha. Katanya, dia lebih suka tinggal dirumahnya dulu bersama orang tuanya.
Kedua anaknya juga hanya pernah bertemu dengan Naruto dua kali. Itupun saat masih kecil. Mikoto sangsi bahwa Sasuke tidak ingat akan sosok gadis kecil yang dulu pernah diajaknya bermain kesana kemari.
Belum sempat Mikoto memberitahukan keberadaan Naruto yang sudah berumur sembilan belas tahun pada dunia, wanita berambut raven itu dibuat terkejut akan penyakit yang diderita anak angkatnya.
Leukimia. Stadium akhir.
Segala macam obat dikonsumsi Naruto. Kemoterapi tidak pernah dilewatkan. Rambut panjangnya bahkan sampai habis. Sebuah keajaiban karena dia masih bernafas sampai sekarang.
Kini rambutnya sudah tumbuh lagi. Dia hanya bergantung pada obat-obatan saja. Dan satu setengah sebulan yang lalu, gadis itu mengajukan sebuah permohonan.
Dia ingin menikah.
Dengan anak bungsunya, Uchiha Sasuke.
Permohonan itu langsung diterima dengan derai air mata di pipi Mikoto. Fugaku langsung menyiapkan segala surat juga penghulu.
Naruto dan Sasuke menikah dikediaman Uchiha. Hanya keluarga saja yang mengetahui hal ini. Itupun atas permintaan si surai pirang.
Naruto tertawa bersama anak-anak penderita kangker. Gadis itu memegang sebuah buku cerita dengan salah satu anak duduk dipangkuannya.
Ini sudah menjadi rutinitasnya sejak dulu. Dan bisa saja ini adalah yang terakhir. Tidak ada yang tau bukan?
Selesai bermain dan membacakan buku cerita, Naruto bergegas keluar. Ia takut membuat Mikoto menunggu terlalu lama.
"Kau sudah selesai, Naru?" tanya Mikoto yang dibalas anggukan si pirang.
Naruto tersenyum. Digenggamnya sebelah tangan Mikoto, "Ibu lapar?" tanyanya lembut, "Ku dengar, didepan ada restoran yang baru dibuka. Mau mencoba?"
Mikoto mengangguk, tangannya balas menggenggam tangan putri angkatnya yang rapuh. Mereka berjalan besisian, sesekali menyapa suster yang lewat dengan senyuman.
Senyum Naruto bertambah lebar. Dia sangat senang akan kehadiran Mikoto, apalagi bisa menggenggam tangannya. Sama seperti saat ibunya masih ada.
Mereka sampai direstoran cepat saji diseberang Rumah Sakit. Mereka memilih duduk didekat jendela, menikmati makan siang sambil melihat kesibukan kota.
"Naru, apakah Sasuke menyakitimu?" Mikoto bertanya lembut, matanya memandang iris sapphire didepannya.
Naruto tersenyum, "Dia adalah suami yang baik."
"Anak itu kadang terlalu dingin. Kalau dia menyakitimu, bilang saja pada ibu. Akan ibu jewer telinganya sampai memerah."
Naruto terkekeh kecil, membayangkan wajah dingin sang Uchiha yang kesakitan karena dijewer Mikoto.
Mikoto tersenyum, akhirnya anak angkatnya itu tertawa lagi. Dia cukup khawatir karena Naruto hanya tersenyum saja selama sebulan ini. Padahal biasanya Naruto tertawa.
"Kau tidak berbohong bukan? Kalau memang dia menyakitimu, bilang saja pada ibu."
"Tenang saja ibu. Putramu adalah suami yang baik." setidaknya dia tidak memukul, batin Naruto dalam hati.
"Dia juga selalu bersemangat saat bekerja, aku khawatir dia sakit. Tapi sampai saat ini, sepertinya dia baik-baik saja."
Mikoto tertawa, "Anak itu dari dulu selalu seperti itu. Sama seperti ayahnya. Terkadang, ibu merasa iri pada berkas-berkas yang dipegang Fugaku."
Naruto tersenyum miris. Bahkan Sasuke tidak mau menyentuhnya. Haruskah dia juga merasa iri pada berkas-berkas yang dipegang Sasuke?
"Naru, kau melamun."
Naruto tersentak, dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Eh, aku hanya memikirkan apa yang harus aku masak untuk makan malam, ibu."
"Kau buatkan saja makanan berbahan dasar tomat. Anak itu pasti akan makan dengan lahap."
Lagi-lagi Naruto hanya bisa mengangguk sambil tersenyum miris. Bahkan masakannyapun tidak dilirik Sasuke.Mikoto yang melihat raut wajah Naruto merasa khawatir, "Naru, apa kau tidak enak badan? Sebaiknya kita pulang saja."
"Tapi aku baik-baik saja, ibu."
"Wajahmu pucat, sayang. Sebaiknya kita pulang."
Naruto tersenyum, dia mengangguk dan berdiri bersamaan dengan Mikoto. Mikoto mengeluarkan beberapa lembar uang, meletakkannya dimeja. Lalu menarik tangan Naruto keluar.
***
Saat Naruto sampai dirumah, jam tangannya sudah menunjukkan pukul empat. Gadis bersurai pirang itu segera membersihkan diri, lalu menuju dapur untuk membuat makan malam.
Setidaknya, dia harus mencobakan?
Surai pirang sebahunya bergoyang, tangannya dengan lincah memainkan pisau memotong-motong bumbu.
Satu setengah jam berkutat didapur, makanan yang berfariasi terhidang di atas meja. Gadis bersurai pirang itu mengelap peluh dengan lengan bajunya. Lalu duduk sambil menengadah menatap langit-langit.
Apakah Sasuke akan makan masakannya kali ini?
Ponsel disakunya bergetar, sebuah pesan masuk. Dari suaminya tercinta, Sasuke.
"Aku akan lembur, tidak usah membuat makan malam" -Sasuke
Naruto tersenyum kecut. Mungkin, bukan hari ini?
***
TBC...
Vommennya guys!
Jangan lupa baca juga cerita saya berjudul She dan Freeze.Berikan vote kalian dan share keteman"
See you next chapter!
28-04-2017,
YukiAsahy
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause Of You
Fanfiction[Selesai] Jalan yang dilalui Naruto tidak lebih karena kebodohannya sendiri. Warning: OOC, FemNaru! Masih belajar. Disclaimer: Masashi Kishimoto Cerita asli pemikiran dan milik saya.