#Tetes kesepuluh

3.8K 416 14
                                    

Banyak yang mengatakan kalau Naruto bodoh karena tidak merelakan seseorang yang saling mencintai satu sama lain. Dia terlalu egois untuk berkata iya, dan hatinyapun enggan untuk melepaskan. Naruto tahu bahwa dirinya terlalu serakah untuk urusan cinta, dan dia tidak keberatan dengan cap yang melekat pada dirinya itu. Tidak apa, selagi Sasuke masih bersamanya. Haha, lucu bukan? Bahkan Sasuke tidak menginginkannya dan sudah memiliki seseorang dalam hatinya.

"Bodoh sekali... kau tampak seperti gadis gila yang akan memberikan apapun untuk anak itu."

Naruto tertawa lirih tanpa suara. Dia hendak mengelus punggung tangan Itachi, tapi tangannya terasa lemas untuk diangkat. Naruto sudah beberapa kali diterapi, tapi sampai saat ini belum ada donor yang memenuhi sehingga operasinya harus ditunda. Naruto tidak keberatan, lagipula dirinya masih bisa melihat Sasuke walaupun hanya punggungnya.

"Kau itu keras kepala sekali. Aku sudah bilang untuk melepaskannya agar kau tidak sakit lagi, tapi dengan kepala batumu itu kau malah menolak mentah-mentah. Kenapa kau egois sekali, Naru?" Itachi menarik kursi mendekati kasur yang ditempati Naruto. Dia menggenggam tangan dingin itu dan mengelusnya lembut. "Kau bisa bahagia bersama yang lain. Aku tidak keberatan kalau kau bersama lelaki menyebalkan berambut panjang itu. Asal kau bahagia, aku pasti akan setuju dan mendukungmu."

"Hmm..." Naruto menggumam. "Kalau begitu, dukung aku untuk berada di sisi Sasuke sampai waktuku habis, kakak..."

"Itu bukan kebahagiaan, Naru! Hentikan ini! Dan waktumu belum saatnya habis. Aku akan mencari pendonor lagi agar kau bisa cepat sembuh!"

Naruto tidak menjawab. Dia memejamkan matanya, membiarkan indra penciumannya mencium bau-bauan antiseptik di sekitar. Ini sudah biasa, batinnya. Dari dulu Naruto sudah akrab dengan tempat ini. Mereka sudah kenal lama dan sudah saling terbiasa, jadi Naruto tidak keberatan kalau harus menetap lagi di sini selama beberapa hari.

"Ibu akan khawatir kalau kakak tidak pulang..."

"Ibu akan lebih khawatir kalau tahu kau masuk Rumah Sakit lagi."

"Ibu tidak akan khawatir kalau kakak tidak memberitahunya..."

"Ibu akan mencaritahu sendiri kalau kau tidak mengangkat teleponnya dan tidak memberi kabar selama berhari-hari."

" ... "

Itachi memandang sendu Naruto. Dia mengusap lembut surai pirangnya dan mengecup keningnya sekilas. "Aku akan datang lagi nanti. Hubungi aku kalau terjadi apa-apa."

"Hm..."

Itachi melangkah pergi, meninggalkan Naruto di dalam kamar inapnya sendiri. Ini sudah hari ketiga dia tidak pulang ke rumah, dan Sasuke tidak menghubunginya sama sekali. Tidak apa, memang tidak akan ada kebahagiaan untuk orang yang egoiskan?

***

Ino mendapati ibu mertua temannya datang ke Toko Bunganya. Wanita itu tersenyum sambil melihat-lihat rangkaian bunga yang telah dirinya buat. Mata mereka bertubrukan, dan Ino ikut tersenyum karenanya.

Kenapa ibu mertua temannya ini datang jauh-jauh ke sini?

"Aku ingin seikat bunga matahari. Bisa kau merangkainya dengan indah?" Mikoto membuka percakapan. Ino tersenyum dan mengangguk. Sebelum gadis itu berbalik, Mikoto menahannya dan memberikan sepucuk kertas. "Tolong antarkan ke alamat ini. Berapa aku harus membayar?"

Rumah Sakit.

***

Naruto memikirkannya seharian ini. Dia adalah seseorang yang benar-benar tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa dia pergi dengan tenang setelah mengikat Sasuke dan melepaskannya kembali? Apakah dia benar-benar tidak memiliki rasa bersalah sama sekali? lalu pertanyaan kembali muncul. Kenapa dia mengajukan permintaan paling gila seperti ini? sebenarnya, alasan apa yang membuatnya menikah dan memaksa pria itu? Apa yang membuatnya dengan keras kepala meminta permintaan itu pada Ibu tirinya? Kenapa dia bisa seperti ini? kenapa harus?

Kenapa-kenapa-kenapa.

Semua pertanyaan itu memenuhi kepala Naruto sampai terasa akan pecah. Dia menangis. Menangis lagi karena perangainya yang begitu menyebalkan.

Seharusnya dia tidak menganggap serius kata-kata itukan?

"Ayo kita menikah saat kau sudah besar nanti!"

Seharusnya itu semua tidak terjadi.

***

Tiga hari.

Dan Sasuke merasa hidupnya benar-benar tidak berarti. Hubungannya hancur. Semua, untuk Sakura, untuk Ibunya, untuk Itachi, untuk hidupnya, dan yang paling tidak ingin Sasuke akui, untuk gadis itu. Lagipula memang sejak awal hubungan Sasuke dengan gadis itu sudah hancur, jadi dia tidak terlalu mementingkannya.

Tapi anehnya, hidup Sasuke yang sejak dulu stabil kini terguncang. Sasuke tidak suka kotor, maka rumahnya selalu bersih. Itu terjadi bahkan sebelum dia menikah. Dan kini, rumahnya kotor. Lebih kotor dari pada kandang ayam. Sasuke tidak memiliki gairah untuk membersihkannya. Biarkan saja, nanti Sasuke akan menyewa orang untuk membersihkan kotoran ini.

Dia berjalan tanpa semangat menuju kamar Naruto. Entah sejak kapan dia mulai tertarik dan berpikir untuk masuk ke dalamnya. Dia membuka pintu yang lagi-lagi tidak terkunci. Kenapa gadis itu mudah sekali membuka pintu? Apa dia berpikir kalau Sasuke bukan seorang lelaki yang perlu diwaspadai? Ah, tentu saja tidak. Sasukekan tidak pernah tertarik pada Naruto. Tidak akan pernah.

Sasuke memindai ruangan itu, bersih dan terawat. Terlihat seperti kamar biasa yang ditempati oleh seseorang, tentu saja. Sasuke duduk di kasur, dia mencium wangi lavender yang sedikit menenangkannya. Tanpa sadar dia sudah menidurkan diri di kasur itu. Wangi. Apakah ini wangi Naruto? gadis menyebalkan itu? Haha. Sasuke memejamkan matanya. Hanya ruangan ini saja yang bersih, jadi dia tidur di sini, batinnya meyakinkan.

Sasuke tidak pernah berdekatan dengan Naruto. dia tidak pernah berasa di sisi gadis itu sampai tidak pernah mencium bau tubuhnya. Dia tidak pernah mencium kepala Naruto sampai tidak tahu seperti apa aroma rambutnya. Dia hanya pernah sekali mencium Naruto saat mereka menikah, dan itu di keningnya. Selebihnya, Sasuke bahkan tidak ingat apa yang ia lakukan bersama Naruto. Mereka bahkan tidak pernah makan bersama di meja makan. Sasuke hanya pernah merasakan masakan Naruto sekali, saat ia tidak sengaja melihat gadis itu memasak di pagi buta. Dan rasanya, begitu mirip dengan masakan Mikoto.

Mengingat Ibunya itu membuatnya rindu. Sasuke tahu kasih sayang ibunya itu sudah begitu terbagi begitu dia menikah. Bahkan sebelum Sasuke menikah, ibunya hanya menghubunginya seminggu sekali, tapi begitu ada Naruto, ibunya bisa menghubunginya tiap hari. Sekedar untuk mengetahui keadaan Naruto. Bukankah ini tidak adil? Dan sekarang, entah kenapa Mikoto tidak pernah menghubunginya lagi.

Ponsel di sakunya bergetar. Dia dengan malas mengeluarkannya, terdapat sebuah pesan di sana. Dari seseorang yang bahkan kontaknya tidak dia simpan.

From : 010-2**-****

Apa kita bisa bertemu? Aku akan menunggumu di taman dekat Rumah Sakit ****

-Naruto

Sasuke tertawa sinis. Mungkin gadis itu juga tahu tentang keberadaannya yang tidak diinginkan, jadi dia selalu menuliskan namanya di akhir pesan. Bodoh sekali bukan?[]

TBC

Tertanda,

YukiAsahy

23/06/2018

Cause Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang