Itu terjadi satu minggu sebelum Mikoto membuat janji temu untuk pasangan Uchiha bungsu. Naruto pergi jalan-jalan sendiri, dan ia mampir disebuah rumah makan di tepi jalan. Tempatnya tidak terlalu jauh dari kantor Sasuke, jadi Naruto bisa dengan leluasa menatap bangunan tinggi itu tanpa hambatan. Saat Naruto baru memakan beberapa suap nasinya, dua orang wanita dengan setelan lengkap duduk di kursi belakangnya. Mereka berbincang seru dengan suara yang cukup keras untuk Naruto dengar. Dan pembahasan kedua wanita itu adalah Sakura. Sekretaris yang sangat beruntung karena memadu kasih dengan atasannya sendiri.
Uchiha Sasuke.
Naruto tidak bisa apa-apa kala itu. Ia hanya bisa menggigit bibirnya dan meredakan rasa nyeri di dada. Rupanya, kesakitannya tidak hanya sampai situ. Sasuke seperti tahu Naruto sedang sakit hati, jadi dia menambah perih dengan datang ke tempat makan yang sama bersama Sakura. Mereka bergandengan tangan. Sangat mesra sampai Naruto memalingkan muka. Kedua wanita di belakang Naruto bahkan makin riuh membahas keduanya. Naruto juga ingin melakukan itu dengan Sasuke, menggenggam tangannya dan makan bersama.
Seperti mimpi saja.
Dan kenyataan biasanya jauh dari mimpi. Naruto sadar akan hal itu saat dia menunggu di halte sampai ia mimisan. Sasuke tidak datang. Itu ungkapan tersirat kalau Naruto memang tidak penting. Beruntunglah Itachi membawanya saat ia hampir tidak sadarkan diri. Dan saat Naruto pulang keesokan harinya, kata-kata pedas Sasuke menyapanya. Kenapa begitu? Padahal Naruto hanya tidak pulang satu malam karena disuruh Itachi menginap di rumah utama. Katanya Mikoto rindu—padahal Naruto tahu kalau Ibunya itu tidak mau melihat Naruto bersedih lagi. Apakah Sasuke tidak mengenal mobil yang Itachi pakai? Pertanyaan-pertanyaan selalu merasuki kepala Naruto tanpa jawaban, itulah sebabnya Naruto mengurung dirinya di kamar. Menangis sampai matanya bengkak.
Dan begitu keluar, Sasuke murka. Hari-harinya kacau melebihi hari-hari sebelumnya. Padahal Naruto tidak pernah mengeluh sama sekali, tapi Sasuke selalu bersikap seperti itu padanya. Naruto hanya rindu saat-saat mereka bermain bersama—walaupun hanya dua kali pertemuan. Dia rindu Sasuke yang tersenyum, kakaknya yang selalu menjaganya dan sangat manis. Naruto ingin membanggakan diri pada Sasuke kalau dia sudah bisa memasak dengan baik, jadi dia tidak akan diejek lagi karena tidak bisa memasak. Tapi rupanya, Sasuke tidak berniat mencicipi makanannya selain hari itu.
Semua yang Naruto rasakan terasa mengambang. Bulir-bulir putih tiba-tiba turun menyambut Naruto yang sudah pucat tanpa tenaga. Sebelah tangannya menyumbat hidung dengan sapu tangan putih yang mulai memerah—sapu tangan yang sama yang menghapus air mata Sakura. Naruto menengadah, menatap butiran itu tanpa minat. Saat matanya menutup, dinginnya salju merasuk ke dalam tulangnya.
Dingin. Sama seperti Sasuke.
***
Itachi sesenggukan di depan Naruto. Dia tidak tega melihat 'adiknya' itu terbaring tak berdaya dengan bantuan alat pernapasan. Sulung Uchiha itu menyembunyikan matanya yang membengkak di balik kacamata hitam saat pintu geser terbuka. Mikoto masuk dengan wajah sendu, wanita itu meletakkan keranjang buah di atas nakas dan menepuk-nepuk bahu Itachi.
"Mau Ibu beritahu sesuatu?" Itachi mengangguk samar. "Ini bukan sekali dua kali Naruto masuk rumah sakit, bukan pertama kali juga tangannya ditusuk jarum. Darahnya bahkan sering diambil untuk check-up, dan rambutnya..." Mikoto menjeda. "Ibu sempat bersyukur karena dia tidak lagi memakai tudung."
"Kenapa Ibu tidak memberitahukannya sejak lama?"
"Kondisinya terlalu rentan, Itachi. Lagipula Sasuke memilih minggat dari rumah begitu menginjak kelas dua menengah atas."
"Tetap saja, setidaknya Ibu memberitahuku. Ibu hanya pernah mempertemukanku dengannya beberapa kali. Tidak lebih dari tiga!"
Mikoto diam. Dia hanya memandang wajah Naruto yang semakin pucat tiap harinya. Bibirnya kering dan terdapat ruam-ruam kecil di tangannya. Wanita itu tersenyum miris, dan dia membuang muka ketika mendengar Itachi terisak lagi. Mikoto sudah sering menangis seperti itu dulu. Dia juga tidak akan menyalahkan Itachi yang menangis seperti anak bayi walaupun tubuhnya sudah sebesar itu.
"Jangan salahkan aku kalau aku melukai anak Ibu yang itu. Aku tidak akan memberinya ampun nanti!"
Itachi mengeluarkan keluh kesahnya. Dia adalah orang paling gila ketika tidak menemukan Naruto di kamarnya. Dia sudah kesurupan ketika berlari-lari di lorong rumah sakit dan tidak mendapati Naruto sama sekali. Dia hampir mati berdiri begitu melihat adik kecilnya sudah tidak sadarkan diri di bangku taman saat salju turun. Gila. Gila. Gila!
Mungkin beberapa patah tulang bisa Itachi berikan nanti. Asal tidak mati tidak apa-apa kan?
"Itachi, Naruto tidak akan senang kalau kau seperti ini."
"Dan aku akan memarahi Naruto nanti! Aku sudah bilang padanya untuk menungguku, tapi anak ini pergi hanya karena aku terlambat beberapa jam? Aku mau pulang saja!"
Dia beringsut, membuka pintu kasar dan menutupnya kembali. Langkah kakinya besar-besar dengan tangan yang mengepal erat. Bodoh sekali adiknya itu. Keduanya. Sasuke dan Naruto. Saat Itachi tengah asik mengumpat, matanya tanpa sengaja melihat sekretaris merah jambu Sasuke. Itachi masih bisa berpikiran waras untuk tidak mengamuk pada seseorang yang ditipu. Pria itu hanya lewat saja saat Sakura dengan wajahnya yang sembab membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih. Sial! Itachi harus menenangkan dirinya!
Di sisi lain, Mikoto menggenggam tangan Naruto. Dia tersenyum miris sambil sesekali mengelus rambut pirang itu. Matanya menyendu begitu merasakan tangannya yang dingin. Narutonya, mungkin akan benar-benar pergi kali ini. Mikoto takut.
"Tidak apa-apa, Naruto adalah anak yang kuat." Fugaku ikut menggenggam tangan Naruto. Dia baru sampai setelah menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Itachi yang tadi berpapasan dengannya saja seperti tidak melihatnya, jadi Fugaku langsung cepat-cepat datang guna melihat keadaan menantunya itu.
"Tapi aku takut, Anata..."
"Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya."
***
Satu hari, dua hari, tiga hari, sampai satu pekan lewat, Sasuke sama sekali tidak melihat Naruto. Hidupnya kembali monoton seperti dulu, berangkat pagi tanpa perlu memalingkan wajah dari dapur, tiduran sesuka hati di depan televisi, pulang dan pergi sepuasnya. Sasuke merasa bebas, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sasuke merasa kosong. Dia sendiri.
Lampu rumahnya padam ketika Sasuke pulang. Biasanya—beberapa bulan belakang ini—saat ia pulang pasti lampu teras sudah menyala. Kali ini padam. Tidak ada lagi yang menyalakannya selain Sasuke sebagai pemiliknya. Ia menekan saklar lampu teras dan membuka dasinya, melemparnya di antara sofa dan mulai membuka jas hitamnya. Sasuke tidak suka yang kotor-kotor, tidak suka jika melihat barang diletakkan sembarangan. Tapi untuk kali ini, apa pedulinya?
Toh ia hanya sendiri.
"Sasuke..."
Ia berbalik cepat. Jantungnya bertalu-talu kencang walaupun rupanya sedatar triplek. Naruto duduk di sana, di balik bayang-bayang karena lampu di situ belum Sasuke nyalakan. Pria itu terkejut dan hanya bisa mematung saat mendapati sosok itu hanya diam duduk di sana. Memandangnya dengan senyuman kecil sambil bersandar.
"Mau menemaniku berjalan-jalan?"
"Tidak."
Terlalu cepat sampai Sasuke sendiri menahan napasnya. Pria itu masuk ke kamarnya dengan mambanting pintu. Langkah kakinya yang lebar segera membawanya ke kamar mandi. Shower dinyalakan dan airnya langsung mendarat di kepala Sasuke. Panas. Sasuke harus mendinginkan kepalanya.
TBC
Aku mah no comment aja ya...
Salam sayang,
YukiAsahy
26/07/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause Of You
Fanfiction[Selesai] Jalan yang dilalui Naruto tidak lebih karena kebodohannya sendiri. Warning: OOC, FemNaru! Masih belajar. Disclaimer: Masashi Kishimoto Cerita asli pemikiran dan milik saya.