Sasuke tidak bisa mengenyahkan pikirannya sejak tadi pagi. Lagipula, untuk apa anak kecil seperti Naruto memakai pelembab bibir? Ingin menggoda orang, begitu? Ck, seketika suasana hati Sasuke memburuk. Gadis kecil seperti dia? Yang amat menyebalkan dan mengemis cinta bermain di belakang Sasuke? Mimpi apa dia semalam sampai bisa ditikung begitu.
Menjijikkan.
Sangat.
Sasuke begitu membenci orang seperti gadis-pirang-menyebalkan-itu. Kenapa pula ibunya dan ayahnya malah menjodohkan Sasuke dengan Naruto? umurnya bahkan masih delapan belas. Masih labil. Masih ingusan. Masih menggebu-gebu akan cinta. Umur segitu pasti bisanya hanya merengek minta ini itu. Menyebalkan bukan?
Hening.
Otak encer Sasuke seperti merespon sesuatu, tentang apa yang dia pikirkan tentang kebanyakan anak berumur delapan belas tahun. Naruto itu ... delapan belas tahun kan?
Kenapa tidak pernah meminta apapun darinya?
***
"Kenapa kakak tidak pernah berkunjung ke sini lagi?"
Naruto bertanya pada Mikoto yang masih setia menemaninya berjalan-jalan di taman Rumah Sakit. Ibunya itu mengulum senyum lantas mengusap pelan surai kuningnya yang dipotong pendek.
"Naru ingin bertemu siapa? Ita-nii atau Sasu-nii?"
"Dua-duanya! Tapi Naru ingin bermain bersama Sasu-nii."
Mikoto tertawa kecil mendengarnya. "Nanti Ibu ajak Sasu-nii bermain lagi dengan Naru. Tapi sebelumnya Naru harus berjanji untuk tidak lupa memakan obat yang diberikan Dokter dan Suster, ya?" tanya Mikoto masih dengan genggaman tangan keduanya.
Naruto mengangguk, lantas memberikan cengiran lebarnya pada Ibunya. "Naru janji."
Naruto terduduk. Dirinya yang berumur delapan belas tahun melihat bayang-bayang masa kecilnya yang begitu menyenangkan. Bahkan terlalu indah untuk sekedar dilupakan. Naruto tidak tahu apakah Mikoto ingat dengan janjinya, tapi Sasuke tidak pernah datang berkunjung lagi.
Tidak pernah.
Bahkan setelah Naruto meminum obatnya dengan dosis dua kali lipat.
Bodoh kan?
Haha ... Naruto memang bodoh jika bersangkutan dengan Sasuke. Hanya dengan Sasuke, dan hanya karena dirinya.
Terus seperti itu sampai jantungnya terasa akan berhenti sebentar lagi. Sebentar lagi, seperti saat ini.
Naruto tersentak dalam tidurnya dengan air mata bercucuran di kedua pipi. Sebelah tangannya berada di depan dada, merasakan detak jantungnya yang beradu begitu cepat. Dia merasa akan mati sebentar lagi.
Tidak.
Naruto meringkuk di atas kasurnya, menangis tersedu sampai terisak-isak. Sesakit apapun luka yang diberikan Sasuke, Naruto masih ingin berada di sisi Sasuke. Mungkin sekali saja, Naruto ingin tangannya digenggam lama seperti kala itu.
***
Sasuke melihat Sakura yang tengah membereskan berkas habis rapat tadi. Dengan pikiran yang berkecamuk, pria itu masih bisa memberikan senyuman kecil pada kekasihnya itu. Di ruangan ini hanya ada mereka berdua karena Sasuke belum beranjak dari sana. Dia ingin menunggu Sakura selesai dan kembali ke ruangannya bersama. Tapi sepertinya niatnya itu harus sirna setelah pintu ruang rapat didobrak paksa oleh kakaknya—Itachi.
"Ada apa?" datar. Bahkan senyuman yang tadi terukir luntur seketika.
Itachi masuk dengan hawa gelap. Bibirnya terbentuk tipis dengan pandangan tajam. Tidak biasanya Tuan Muda penuh keramah tamahan ini berwajah garang seperti ini.
"Aku ingin bicara."
Satu kalimat. Dan Sakura mengerti maksudnya. Sekretaris merangkap kekasih Sasuke itu segera keluar sambil memberikan senyuman perpisahan.
"Ada apa, Aniki? Kau tidak seperti bia—"
"Bisakah kau berhenti? Aku ingin memukulmu sampai masuk Rumah Sakit, O-to-u-to." Ucap Itachi dengan penekanan di akhir kata. "Tanganku sudah kebas dan gatal."
" ... "
Itachi mendudukkan diri di kursi kosong yang berjarak beberapa kursi dari adiknya. Dia sengaja. Takut kelepasan.
"Apa yang ingin kau bicarakan, Aniki?"
"Hentikan permainan gilamu."
Sasuke mengerutkan alisnya tidak mengerti. "Aku tidak mengerti." Ucapnya.
"Kenapa tidak kau ceraikan saja Naruto? Dia masih kecil dan berhak bahagia."
Sasuke tertawa kencang seperti orang sinting. Tawanya tidak berhenti sampai Itachi mengeratkan tangannya berusaha untuk tidak menonjok mulut kotor itu.
"Haha—... aku juga ingin," Sasuke mengelap air matanya yang berada di ujung matanya—terlalu lucu—kasar. "Seandainya dia tidak terlihat menyedihkan begitu, aku sudah melakukannya tepat beberapa jam setelah janji kosong tanpa makna itu."
"Brengsek!"
Itachi tidak tahan, lantas menerjang adiknya sampai keduanya berada di lantai—bergelut.
"Aku tidak pernah berharap memiliki adik tidak berperasaan sepertimu, bodoh!"
"Kau harusnya tahu sejak dulu—"
BUGH
" ... Ck. Sial. Wajahku bisa hancur."
DUKK BRAK
"KAU SEHARUSNYA MINTA MAAF PADA NARUTO!"
"BRENGSEK. JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN RUMAH TANGGA ORANG!"
"Sialan!"
BUGH BAG
"Arghh...!"
"Mati saja!"
"Kalau bukan karena Ibu, aku tidak akan menikahinya!!!"
Kriett ...
Keduanya terpaku pada pintu yang terbuka. Sakura di sana dengan pandangan yang sedikit kosong. Tangannya terlihat bergetar sambil memegang kenop pintu, mencoba menahan beban tak kasat mata. Tapi manik emeraldnya hanya tertuju pada Sasuke yang sudah kotor setelah baku hantam.
" ... ka-kau—sudah menikah?"[]
TBC
Aww... Yuki belakangan merasa begitu semangat nulis cerita. Wah, mungkin berkah Ramadhan :v Tapi emang pada dasarnya cerita ini tuh setiap Chapternya pendek-pendek, makanya kayak gini :))
Mimpi apa Yuki sampe bisa bikin cerita cepet banget kayak gini, ya? Wkwkwk. Btw, kalo ada typo kasih tau, ya?
Salam kebut,
YukiAsahy
09/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause Of You
Fanfiction[Selesai] Jalan yang dilalui Naruto tidak lebih karena kebodohannya sendiri. Warning: OOC, FemNaru! Masih belajar. Disclaimer: Masashi Kishimoto Cerita asli pemikiran dan milik saya.