Dia anak satu-satunya di keluarga ini. Keluarga mereka biasa saja, terlewat biasa sampai tidak ada yang tahu kalau keluarganya telah hancur. Ayahnya jarang pulang, ibunya menyibukkan diri dengan karirnya. Dia sendiri tidak ada yang merawat. Makanya sejak kecil dia sudah bersama neneknya, satu-satunya orang yang menginginkan keberadaannya dan peduli padanya. Neneknya sering bercerita tentang kakaknya, keponakannya, dan cucunya. Neneknya bilang kalau dia punya seorang cucu lagi dari kakaknya. Anak perempuan dan sangat cantik. Berarti dia memiliki seorang saudara jauh. Dia ingin bertemu, tapi usianya terlalu kecil saat itu.
Dan beberapa tahun kemudian, neneknya meninggal. Dia kembali bersama keluarganya yang tidak pernah di rumah, selalu absen menyapanya, tidak pernah menampakkan muka selama beberapa minggu dan bulan, sampai dia merasa hidup sendiri. Iya, hanya sendiri dengan harta yang ditinggalkan begitu saja. Karena keadaannya yang seperti itu, dia lebih sering bermain dengan alat-alat elektronik, terutama laptop di kamarnya. Dia tidak tahu sejak kapan, tapi dia mulai memiliki banyak teman yang memiliki hobi yang sama, diajari ini itu, sampai dia hanya menetap di kamarnya dengan wajah terpampang layar LCD. Dia bisa melakukan banyak pekerjaan di sana. Bahkan dengan bayaran yang tidak sedikit.
Dan hari itu tiba.
Dia mendapat pesan untuk menjadi seorang penguntit, kasarnya bergitu.
Dan dia menemukan saudaranya. Anak perempuan yang sering diceritakan neneknya. Gadis cantik yang hanya dengan beberapa menit saja membuatnya jatuh hati karena tawa riangnya. Dia mencari tahu semua tentang gadis itu, semuanya tanpa terkecuali. Dan gadis itu sudah menikah, memiliki penyakit keras yang menggerogoti tubuhnya, memiliki ibu tiri dan kedua kakak yang salah satunya menjadi suaminya. Gadis yang membuatnya jatuh cinta sudah dimiliki, dan yang menyewanya saat ini adalah suami gadis itu. Nama gadis itu Naruto. Uchiha Naruto. Dan suaminya bernama Uchiha Sasuke.
Tapi dia tidak mengerti kenapa fakta ini harus ditutupi begitu rapat. Rupanya, gadis pujaannyalah yang meminta. Gadis itu menyembunyikan segalanya, bahkan penyakit yang ia derita dari suaminya yang begitu brengsek. Biarkan saja dia menyebut 'majikan'nya seperti itu, karena mau bagaimanapun, dia tidak bisa memaafkan majikannya itu. Dia tidak bisa begini, maka dia menyembunyikan hal itu juga dari 'majikan'nya itu. Si brengsek Uchiha itu tidak tahu kalau istrinya sebentar lagi mati dan malah menyakitinya berkali-kali.
Dia tidak kuat.
Dia tidak kuat kalau menonton hal ini terus.
Dia tidak kuat saat melihat gadis itu mengukir senyum yang hanya dibalas tatapan tajam saja. Dia tidak kuat saat melihat gadis itu menunggu di halte sampai hidungnya mengeluarkan darah. Dan karena hal itu, dengan terpaksa dia menghubungi seseorang yang dia pikir bisa menjaga gadis itu, kakak dari si brengsek. Dia tidak kuat saat 'majikan'nya itu berkata kasar saat gadis itu baru pulang dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik. Dan dia tidak kuat saat gadis itu melihat suaminya sendiri bermain di belakangnya dengan sekretarisnya. Dia tidak kuat. Gadis itu—gadisnya. Dia masih keluarganya, jadi dia berhak atas tubuh itu. Gadis itu.
"Boleh aku duduk di sini?" dia bertanya dengan senyuman kecil. Naruto tidak menjawab dan hanya mengangguk.
"Kau menunggu seseorang?" dia bertanya lagi, sekedar berbasa-basi padahal dia sudah tahu kalau Naruto tidak menunggu siapapun.
"Tidak." Jawabannya singkat, membuat senyuman kecil yang tidak begitu kentara terpasang di bibirnya.
"Lalu, kenapa kau terlihat murung di tengah malam begini?"
Naruto terlihat enggan dan seperti memilih kata-kata, tapi dia tidak ambil peduli. Mau bagaimanapun, dia datang ke sini bukan karena itu.
"Aku hanya sedang berpikir." Jawab Naruto pada akhirnya.
Dia bersandar pada dudukan kursi, menghela napas kasar dan balik menatap Naruto. "Aku tengah frustasi," lelaki itu bercerita. Ini adalah perasaannya yang tidak ia ungkapkan selama ini. "Aku mencari seseorang selama dua belas tahun hidupku. Kami dipertemukan karena ketidak sengajaan yang membuatku harus memata-matai kegiatannya selama beberapa minggu. Kau tahu? Aku menyukainya." Lelaki itu tersenyum kecil, melirik sekilas pada Naruto yang tidak bereaksi apa-apa.
"...tapi dia sudah memiliki suami. Apa aku boleh membawanya kabur?" dalam hati dia ingin tertawa. Kalau memang Naruto mengizinkannya, bukankah dia boleh membawa Naruto? dia akan memastikan hidup Naruto lebih baik dari ini, tanpa si brengsek itu tentunya.
"Tidak! Dia pasti bahagia dengan suaminya. Dia mungkin akan takut padamu kalau kau menculiknya tiba-tiba." Naruto menjawab cepat, membuat lelaki itu sedikit kecewa karena jawabannya. Berarti, dia tidak boleh membawa Naruto?
"Jadi, aku harus melakukan pendekatan dulu baru boleh menculiknya?"
Naruto terlihat terkejut dan sedikit kesal. Lelaki itu suka ekspresinya.
"Maksudku, kenapa kau tidak merelakannya? Dia sudah berkeluarga." Yah, keluarga yang tidak bahagiakan? Batinnya kesal sambil memejamkan mata lelah.
"Itu akan mudah kalau dia bahagia..." jawabnya lirih. Dia membuka matanya dan memandang obsidian biru Naruto. "Tapi dia tidak bahagia." Aku pun sakit melihatnya. Batinnya lagi.
Saat itu juga, Naruto seperti ingin menangis. Matanya berkaca-kaca dan rautnya terlihat terluka. Lelaki itu tidak bisa melihat hal ini lebih lama.
"Kalau kau yang menjadi perempuan itu, apa kau ingin aku culik?"
Naruto tertawa. Lelaki itu tidak bermaksud bercanda, dia serius dan ingin membawa Naruto pergi. Setidaknya, menjauhkannya dari penyebab sakit hatinya.
"Kenapa tertawa? Aku serius." Ujarnya lagi.
Naruto mengedikkan bahu, masih dengan tawa kecil yang menggema. Butiran putih mulai turun sedikit demi sedikit, membuat udara kian mendingin. Tangan Naruto terulur, membuat beberapa butiran putih itu mendarat di tangannya, lalu beberapa detik kemudian mencair. Lelaki itu melihat semua sikap Naruto, dan gadis itu menggigil kecil. Naruto-nya, kedingingan.
"Aku tidak tahu... tapi sepertinya, aku tidak ingin diculik. Karena mau bagaimanapun, aku mencintai suamiku. Dia seperti sumber kebahagiaan yang belum mekar, masih butuh waktu untuk prosesnya."
Berapa lama lagi? Pertanyaan itu meluncur di kepalanya, tapi tidak bisa ia ucapkan begitu melihat wajah Naruto. Ini menyakitkan. Dia bahkan tidak berpikir untuk merelakan sebelumnya, tapi begitu mendengar nada bicara Naruto yang terkesan percaya diri, dia menghela napas sedikit kasar.
"Kalau begitu, aku juga akan merelakanmu." Ucapnya pada akhirnya. Dia membuka jaketnya, menyampirkannya pada bahu Naruto. Dia akan melepaskan gadis-nya, tapi dia akan tetap mengawasinya. Ya, hanya mengawasinya. Tapi begitu melihat manik biru Naruto, dia tidak bisa menahan hasratnya untuk mencium gadis itu. Hanya di bibir. Di ujung bibirnya.
Dan dia pergi. Lelaki itu pergi dengan perasaan kecewanya. Sebenarnya dia tidak bisa seperti. Gaara tidak bisa seperti ini.
***
Sakura melakukan pekerjaannya seperti biasa. Dia tidak bisa berbuat apa-apa saat Sasuke memutuskan untuk tidak ke kantor beberapa hari ini. Dia jadi lebih sibuk dari sebelumnya, dan telepon dari ibunya membuatnya sedikit mengernyit bingung. Tidak biasanya ibunya menelepon di jam kerja seperti ini.
"Iya, bu?" Sakura mengangkatnya, dan dia terpaku saat mendapati bukan suara ibunya yang menjawab di seberang sana. Telepon itu dari rumah sakit. Ibunya sakit.
Dan satu-satunya nama yang ada di kepalanya saat ini adalah Sasuke.
Hanya Sasuke.
TBC
Mmm... kenapa Yuki updatenya CoY mulu? karena beberapa kali Yuki nulis Freeze tapi salah nama mulu. Yuki ketuker terus setiap nulis Naruto dan Naruko. Ini membingungkan, jadi Yuki ingin merefresh kepala Yuki dulu untuk sementara wkwkwkwk
Tertanda,
YukiAsahy
24/06/2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause Of You
Fanfiction[Selesai] Jalan yang dilalui Naruto tidak lebih karena kebodohannya sendiri. Warning: OOC, FemNaru! Masih belajar. Disclaimer: Masashi Kishimoto Cerita asli pemikiran dan milik saya.