Pintu geser itu terbuka saat Naruto tengah asik memandang ke luar jendela. Langitnya biru dengan hamparan salju yang menutupi jalan dan pohon. Indah sekali sampai Naruto tidak sadar mengulas senyumnya dan membayangkan kalau bunga sakura bermekaran di sana. Pasti lebih indah rasanya. Yah, itupun kalau dia masih bernapas di dunia.
"Na—ruto..." panggilan itu mengambang. Si kuning menoleh dan terlihat sama terkejutnya dengan Ino yang membawa sebuket bunga matahari. Ino terlihat cantik dengan dress ungu muda yang lembut dan sapuan kulitnya yang terlihat natural. Naruto bahkan memicingkan matanya guna menghilangkan rasa iri yang bersarang saat melihat rambut itu tumbuh panjang dengan cantik. Ah, Naruto benar-benar iri.
"Kau datang membawakanku bunga?" dan hanya itu perkataan yang bisa keluar dari mulut Naruto. Ino menjawabnya dengan anggukan dan segera mengambil posisi di sebelah ranjang Naruto.
Ino bahkan memasang wajah datar guna menyembunyikan perasaannya yang tak karuan. Dia berharap Naruto tidak melihat wajahnya yang tadi sempat terkejut sampai membelalakkan matanya. Mulutnya harus beberapa kali dipaksa diam agar tidak bertanya ke sana ke mari. Dia tidak bisa berucap saat melihat Naruto dengan polosnya tidak curiga dan malah berpikir kalau Ino sudah tahu perihal Naruto yang tengah sakit dan berada di gedung berbau obat ini. "Aku merindukanmu karena sudah jarang main dan membantuku merawat bunga."
"Kenapa kau bisa tahu kalau aku di rumah sakit?" pertanyaan itu, begitu menyakitkan untuk Ino. Dia sebagai temannya bahkan tidak tahu kalau Mikoto tidak datang dan menyuruhnya mengantar bunga. Teman macam apa dia?
"Kau tidak terlihat seperti biasanya. Kau seakan-akan sedang bermain peran sebagai orang jahat. Jangan berbohong, Naru. Aku bisa menilai seseorang hanya dengan tatapannya saat melihat bunga."
Naruto tertawa geli, Ino menampakkan wajah galak. "Jangan tertawa begitu, terlihat sangat palsu sampai aku ingin membuang bunganya." Lalu tawa itu mereda, berganti dengan simpul kecil yang terasa menyakitkan.
"Bunganya terlalu indah kalau diberikan kepadaku."
"Ah, kau. Memangnya kalau kau tidak semangat dan loyo begini akan ada yang suka? Hah, siapa? Si rambut panjang yang terlihat lebih cantik darimu itu? Atau suamimu yang sangat kau cintai tapi aku belum pernah melihatnya? Aku, sih, lebih suka kau tersenyum saat bersama bunga-bungaku, biar bisa aku abadikan dan aku gantung fotonya di depan toko. Kalian itu sama indahnya sampai aku rela merawat dua-duanya."
Ino meletakkan buket bunga itu di atas nakas, lalu melipat kedua tangannya dengan pandangan kejam. Sepertinya Naruto butuh motivasi dan semangat, semacam dorongan untuk membuatnya tetap terlihat hidup. Kenapa Ino bilang membuatnya tetap terlihat hidup? Karena pada dasarnya, Naruto berharap untuk mati. Gadis itu bisa menyembunyikan segalanya dengan tutup mulut, tapi sorot matanya lebih jujur daripada dirinya sendiri. Itulah mengapa Ino bisa tahu dengan mudah.
"Hei, aku mau memberitahumu sesuatu, gadis kecil," Ino mengusak rambut pirang Naruto. Dia tertawa guna menghilangkan rasa cemas begitu didapatinya rambut anak itu rontok di tangannya. "Aku ini sudah hidup lebih lama darimu, sudah merasakan pahit manisnya hidup. Tunggu, kenapa terdengar seperti ibu yang menasehati anaknya? Aku masih muda, ya!"
Perempuan itu menyembunyikan tangannya. Dia mengulas senyum yang sama sendu dan memandang obsidian biru itu, berharap agar pesannya tersampaikan. "Kalau kau punya seekor kucing yang manis, biasanya dia akan selalu menempel padamu. Tapi ketika kau tidak sengaja—atau mungkin sengaja mengelusnya terlampau keras sampai dia tercekik, dia akan mencakarmu karena terluka. Itu menyakitkan, bagi kucing itu maupun dirimu. Bagaimana caramu agar dia berhenti mencakar, Naru?"
Naruto bergeming. Wajahnya pucat dan Ino merasa sangat bersalah. Karena tidak kuat berada di ruangan itu terlalu lama, Ino pamit undur diri. Sebelum perempuan itu menutup pintunya kembali, suara Naruto membuat Ino menoleh dan tertegun di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause Of You
Fanfiction[Selesai] Jalan yang dilalui Naruto tidak lebih karena kebodohannya sendiri. Warning: OOC, FemNaru! Masih belajar. Disclaimer: Masashi Kishimoto Cerita asli pemikiran dan milik saya.