1

3.8K 220 49
                                    

Tiga gadis muda dengan pakaian senada—kardigan putih bercorak kotak warna hitam, dengan rok pendek selutut tanpa motif berwarna cokelat, dan sepatu putih tinggi—memasuki area kafe yang lumayan sepi sore itu.

Salah seorang dengan rambut bergelombang kemudian menunjuk arah pojok yang masih kosong. "Di sana aja, gimana?"

Snow adalah salah satu gadis dalam rombongan itu. Dia gadis yang cukup suka keramaian, dan ia benci kesunyian. Gadis itu mengenakan pakaian yang sama dengan dua sahabatnya, rambutnya berwarna hitam legam, dagunya lancip, hidungnya tinggi, lehernya halus menguarkan wangi vanilla yang segar, dan ia cukup tinggi untuk seukuran anak SMA seusianya. Ia lalu menggeleng, tidak menyetujui ucapan Karina, "Jangan, di tengah aja, biar gampang dilirik anak laki-laki."

Karina menggelengkan kepalanya dan lekas menyikut siku Snow. "Masih aja suka jadi pusat perhatian. Seharusnya kamu sekarang mikirin nilai, kita sudah kelas tiga SMA."

"Otak dia isinya cuma laki-laki khayalan dan uang, Karina. Percuma kita nasihatin," sahut Ninggar, gadis paling pendek di antara ketiganya yang mulai menarik bangku paling tengah.

Pramusaji yang sudah kenal dengan mereka bertiga akhirnya datang, menawarkan minuman seperti biasanya, "Tumben datang terlambat? Pesanan Karina cokelat susu, Ninggar taro, dan Snow vanilla, benar 'kan?"

Ketiganya lalu mengangguk.

"Kamu memang terbaik, Mark!"

"Titip tas ya, aku mau ke kamar mandi dulu." Snow meningalkan sahabatnya yang kini asyik mengambil foto.

***

Ruangan 6 x 6 m² terasa begitu sibuk. Ada meja yang dikhususkan untuk oven di sudut ruangan. Ada pula kompor listrik yang begitu banyak di tengah ruangan yang letaknya rata-rata pinggang, ada pula panci dan teflon penggorengan, di sudut-sudut ruangan ada mesin pemecah es, pencuci piring dan gelas, pembuat kopi, dan rak berisi gelas-gelas dengan berbagai variasi.

Salah seorang barista yang kini sibuk mengambil bubuk berwarna ungu dan putih itu terkekeh kala mendengar ucapan temannya. "Seharusnya Bu Elijah memberimu nilai C. Seharusnya kamu menulisnya sesuai dengan buku catatan."

"Tidak ada hukum tertulis yang menyatakan bahwa menuliskan jawaban yang berbeda bisa dikenai sanksi. Bu Elijah tidak mengerti dengan jawabanku yang paling benar di antara jawaban kalian," putus Jaenuary setelahnya.

Mark mendengus, makin kesal, "Bersyukur saja, Ary. Indeks Prestasimu masih tiga koma delapan. Kalau masih mengeluh, kamu akan anggap apa nilaiku yang dua koma itu?"

Laki-laki yang duduk santai di belakangnya hanya mendesah pelan. Sial betul dia di ujian akhir kemarin. Seharusnya dia bisa memperoleh nilai sempurna kalau saja ujian Fonologi—mata kuliah Bu Elijah yang gendut dan berkaca mata bulat—nilainya bagus.

Mark mendekatinya dengan nampan berisi tiga minuman berwarna cokelat, ungu, dan putih. "Serahkan minuman ini ke meja nomor empat belas."

Laki-laki itu memutar bola mata, semakin kesal. "Ini bukan kafeku dan aku tidak bekerja di sini."

"Astaga, Ary. Aku butuh bantuanmu. Aku harus segera mengantarkan pesanan, kalau tidak, penilaian kafeku akan buruk."

"Tidak mau."

"Ary, cepatlah!"

"Tidak."

"Kamu akan dapat kopi gratis setiap hari."

Jaenuary tersenyum dan mengangguk. "Baiklah."

Dengan segera, laki-laki berkaos putih longgar yang dipadukan dengan celana jins hitam dan sepatu kets itu akhirnya membawakan nampan yang dimaksud Mark Chello, temannya, ke arah bangku tengah, di mana ada dua perempuan cantik sedang befoto ria. Ia berdeham dan menyerahkan tiga minuman tersebut. Aneh, kenapa hanya ada dua orang, padahal ada tiga minuman? Pikirnya.

"Silakan."

"Terimakasih."

Sekembalinya laki-laki itu ke belakang, ia segera disambut dengan ruangan berbau kopi, kesukaannya. Oh tidak! Ia menjatuhkan kopinya ke kaos putih itu, membuat kaosnya berubah warna menjadi sedikit hitam. Dengan malas, ia berjalan ke kamar mandi untuk mencoba mencucinya karena ia tidak punya waktu untuk pulang ke rumah. Beberapa menit lagi ia harus segera kembali ke kampus.

***

Snow menyelesaikan urusannya dengan sangat lama, hampir lima belas menit di dalam kamar mandi. Setelah merasa benar-benar selesai, ia dengan segera menekan flush toilet dan mengambil beberapa lembar tisu. Snow mulai merapikan seragamnya dan berniat membuka pintu ketika ia tiba-tiba tercekat.

"Yang benar saja... pintunya terkunci?"

Lengan kecilnya mencoba sekali lagi menggeser kunci, memutar kenop, dan mencoba mendorong pintu oranye itu agar terbuka namun semuanya gagal. Ia terjebak.

"T-tolong!" Di SMA Pandawa, teriakannya sungguh dikenal oleh hampir seluruh siswa. Namun kini, suaranya seperti tertahan di ujung tenggorokannya, nyaris tak bisa keluar. Perlahan dadanya sesak, napasnya memburu, dan keringat mulai bercucuran.

"Tolong buka!" Ia mencoba sekali lagi berteriak, namun yang keluar dari bibirnya hanyalah bisikan kecil. Lututnya mulai lemas, dan ia merasa akan segera kehilangan kesadaran karena kemampuan menghirup oksigen di ruangan itu tidak bekerja dengan baik. Snow takut terjebak di ruangan sempit seperti ini. "Siapa pun tolong!" cicitnya.

Pada saat yang bersamaan, ia bisa merasa tanah yang dipijaknya bergetar. Ia mulai goyah. Apakah ini sungguhan? Tidak mungkin, Snow merasa ia berhalusinasi. Tetapi ternyata tidak. Ruangan itu mendadak gaduh, tanah bergetar dengan hebat, ada dengingan panjang, dan orang-orang mulai berteriak. Samar-samar ia mendengar piring mulai berjatuhan di lantai, kaca-kaca pecah, suara tabrakan di luar, dan gemuruh gedung-gedung yang juga diterpa guncangan.

"Gempa bumi?"

Snow berteriak lagi, kali ini suaranya benar-benar keluar. Bulir air matanya mulai turun, ia menangis. Mencoba terus menggedor karena dinding-dinding dan atap bangunan di atasnya mulai retak dan jika ia tidak segera pergi, napasnya mungkin berhenti saat itu juga.

5...4...

"BUKA!"

3...2...

"TOLONG! BUKA PINTUNYA!"

1...

Pada detik ketika atap itu jatuh ke bilik toilet tempat gadis itu berdiri dua detik yang lalu, Snow berhasil ditarik keluar. Pintu itu didobrak paksa, lengannya ditarik cepat, dan ia segera terjatuh di dekat wastafel. Snow bisa melihat bangunan itu semakin berguncang, dan pandangannya mulai kabur. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Snow merasakan badannya melayang, dibawa pergi dari keadaan yang mencekam.

Pandangannya gelap.

Snow jatuh pingsan.

***

Hi, aku bawa cerita baru! Nantikan kisah Snow Kimmy ya🖤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hi, aku bawa cerita baru! Nantikan kisah Snow Kimmy ya🖤

Start: 27 August 2022

Jangan lupa Vote & Komen yang banyak biar aku semangat lanjutinnya🖤

With Love,
Kim Sasy

Jaenuary | Jaemin X WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang