Bukan Prolog tapi Tragedi

11.3K 420 116
                                    

Sebelum baca, persiapkan obat tetes mata agar baik bagi kesehatan!
Oke, sebelumnya aku mau menjelaskan agar kalian tidak kecewa nantinya.
Cerita ini menggunakan bahasa yang acak adul dan tanda baca yang mungkin agak nggak bener, karena eh karena aku jengah menggunakan aturan yang benar 😂
Ingin sekali-sekali nulis yang semau gue.
So, putuskan mulai dari sekarang sebelum melanjutkan!

~~****~~

Kacamata bulat yang hampir menutupi sebagian pipi kupelorotkan di ujung hidung saat mencari spot yang pas untuk memarkirkan mobil. Mobil mini yang harganya tidak begitu fantastis dan masih harus menempuh dua tahun lagi untuk melunasi cicilan selalu menemaniku ke mana-mana. Benda ini adalah kaki kedua selain kaki buatan Tuhan Yang Maha Esa. Setelah menaiki loby parkiran yang berada di lantai tujuh, lantai tempat kantorku, aku menemukan tempat yang tepat.

Memutar kemudi ke kiri, memindah gigi dan si merah masuk di tempat dengan sempurna. Jangan remehkan keahlianku dalam menyetir, aku lebih hebat daripada supir ekspedisi, sekali putar kemudi mobilku sudah cantik di tempatnya tanpa membaret apa pun. Sebelum mematikan mesin mobil, aku memastikan tampilanku terlebih dahulu; mengelus alis hasil dari salon a.k.a sulam alis, memaju-majukan bibir yang berwarna merah maroon, kemudian merapikan surai rambut yang hari ini aku kuncir gaya ponytail. Dari penampilanku, tidak akan pernah ada yang mengira kalau aku dulunya perempuan culun yang hanya berkutat dengan buku-buku tebal! Kenangan brengsek yang membuatku selalu naik pitam!

Kaki jenjang memakai stiletto berwarna merah maroon yang dihiasi swaroski ASLI dibagian belakang melangkah dengan gemulai, seperti dalam serial televisi yang menampilkan wanita seksi keluar dari mobil, itulah gayaku. Aku mengibaskan ekor rambut sembari menutup pintu, tapi sayang sungguh sayang gaya anggunku rusak karena sebuah tangan menarik ekor rambutku.

"Agh." Kepalaku mulai terasa perih ketika tangan itu menarik rambut hingga tubuhku hampir terjengkang ke belakang. Di tengah-tengah kesakitan, aku mencoba melihat orang yang dengan kurang ajar menarik rambut indahku.

"Dasar wanita penggoda!"

Dia mengentakkan tarikannya hingga membuat tubuhku berputar dan menabrak pintu mobilku. Astaga, kalau saja aku tidak menjaga keseimbangan mungkin setiletto-ku akan patah dan kakiku keseleo. Mataku memicing saat melihat wanita bertenaga kuda, dengan gaya heboh seperti emak-emak mau ke pesta dansa dan tas bermerek itu berdiri di hadapanku.

"Maaf Anda siapa?! Berani-beraninya berbuat kasar! Mau aku laporkan dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan?!" hardikku yang berusaha tegap.

Dia mendongak karena aku lebih tinggi darinya. "Laporkan, laporkan saja! Kamu akan aku tuntut balik dengan pasal yang sama karena telah menggoda suami orang!"

Luar biasa, dia adalah wanita ke enam yang melabrakku di kantor, bukan wanita urutan ke tiga yang melabrakku di rumah.

"Ooh, jadi Anda menyalahkanku karena suami Anda tidur denganku?"

Kepalaku seperti membentur aspal ketika tangan wanita ini menamparku.

"Shit!"

Aku mendengar dia melempar tasnya dan tidak lama kemudian kedua tangannya menjambak rambutku.

"Astaga! Lepaskan!"

"Wanita jalang! Kamu benar-benar terbiasa dengan tingkahmu sehingga nggak ada rasa bersalah sedikit pun."

Aku mengentakkan kakiku untuk melepas stiletto dan bersiap membalas perlakuannya. Kedua tangannya aku singkirkan dari rambutku, tidak peduli helaian yang terlepas dari kulit kepala.

"Lepaskan tanganku!" pintanya.

"Dengar Nyonya, kalau suami Anda nggak kegatelan, nggak mungkin dia tergoda olehku!"

"Kurang ajar!" Dia mendorongku hingga punggungku meebentur tembok.

Ya Tuhan, wanita ini memang keturunan kuda!

Dari kejauhan sayu-sayup aku mendengar dua langkah kaki mendekat ke arahku. Dari balik badan wanita ini aku melihat dua petugas security berlari ke arahku.

"Tolong, ada wanita gila!"

"Kamu yang gila, kamu yang menggoda suami orang!"

Aku berteriak sebisa mungkin hingga dua petugas menjauhkan tubuh wanita itu dariku. Napasku terengah-engah sambil melihat wanita itu mencak-mencak tak karuan. Aku berjalan untuk memungut barang-barangku yang tergeletak di bawah.

"Bawa pergi wanita ini!" bentakku kepada kedua petugas sembari melangkah masuk dengan telanjang kaki.

Aku melewati pintu otomatis yang membatasi loby parkiran dengan kantorku sambil menenteng stiletto. Aku tahu apa yang akan terjadi, seluruh mata yang berada di sini memandangku dengan pandangan sinis. Sudah menjadi kebiasaan kalau aku dilabrak oleh banyak orang, bahkan teman sekantorku sering melakukan itu padaku. Aku memelototkan mata, membalas tatapan mencemooh mereka sebelum membuka pintu toilet.

Memang aku salah dalam hal ini?

Jawabannya adalah TIDAK!

Makhluk berbatang merekalah yang kegatelan, yang selalu bernafsu ketika melihatku. Otak mereka sudah miring karena selalu menyalahkanku tanpa mengoreksi diri mereka sendiri.

Mataku melihat penampilan yang sebelas dua belas dengan pengamen di pinggir jalan. Rambut yang meluber ke mana-mana, riasan yang berantakan, blazer hitam yang ... ya Tuhan! Aku langsung membuka blazer dan menerawangnya. Sialan! Wanita itu merobek jahitannya. Kulemparkan blazer itu untuk menumpahkan kekesalan.

Tanpa berpikir panjang, aku merapikan diriku yang berantakan dengan cepat sebelum jam masuk kerja dimulai, kemudian melipat blazer. Aku memutuskan untuk tidak memakainya, cukup dengan kemeja putih yang memiliki rumbai-rumbai di bagian dada sudah  membuatku sempurna. Sentuhan terakhir adalah bibir, aku menebali bibirku sekali lagi agar terlihat cerah.

"Padma ... Padma." Gerakanku terhenti ketika Inge, rivalku di kantor masuk ke dalam toilet. "Nggak ada laki lain apa? Kok senengnya ngrayu laki orang! Perjaka nggak ada yang mau sama kamu, ya?" 

Setelah memoles sempurna bibir dan meletakkan lipstik ke dalam tas jinjing, aku memutar tubuh. "Kamu ... nggak ada kerjaan lain selain iri denganku? Atau jangan-jangan pria beristri nggak selera denganmu karena punyamu udah dol! Kayak mainan yang nggak ada pengaitnya," balasku dengan tawa lebar. Aku membuka pintu dan meninggalkan Inge dengan wajah yang dilipat-lipat.

Menghinaku sama saja menjatuhkan martabat kalian! Padma Daneswari, itulah diriku.

The Second Woman [Terbit Indie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang