Pilihan

7.7K 802 19
                                        

Setelah pemakaman mamah, beberapa saudara berkumpul di ruang keluarga, ada papah juga disana. Ini adalah momen langka, pertama kali terjadi setelah waktu yang lama.

Adeera yang masih pilu, masih betah memeluk Aditya, ia bahkan satu-satunya yang belum bertemu dengan papah.

"Dek, salim sama papah dulu gih." Aditya mengelus kepala Adeera lembut.

"Kakak, jadi peduli papah?"

Aditya tersenyum masam, jika bukan di kondisi seperti ini, jika bukan suasana sendu yang memaksanya, ia tidak akan meminta Adeera untuk peduli. Hatinya hampir keras dengan sosok yang dengan tega meninggalkan keluarganya. Meninggalkannya sendiri dengan banyak tanggung jawab yang harus ia jaga.

Adeera mengadah lagi, menahan air mata yang sejak tadi enggan berhenti. "Kakak,"

"Dek," Suara berat itu akhirnya mucul, suara yang bahkan tidak pernah hilang dari pikiran Adeera. Ardan berusaha mengelus kepala anak bungsunya itu, saat Adeera sudah bergeliat menghindar. Tangisannya semakin keras.

"Papah disini, sama adek." Ucap Ardan, lagi.

Adeera menggeleng, ia mengeratkan pelukannya pada Aditya.

Ardan menatap Adeera pilu, anak kesayangannya ini, apa juga membencinya? Sampai akhirnya Ardan mulai menyentuh pundak Adeera pelan, memaksa Adeera untuk berhadapan dengannya. perasaan ayah yang mana lagi, ia juga merindukan peri kecilnya ini.

Adeera memberontak, ia menepis tangan itu, membuat Adeera menangis lebih kencang lagi.

"Maafin papah, dek. Papah disini sekarang sama adek." Akhirnya Ardan berhasil menarik Adeera kepelukannya, 5 tahun lebih ia kehilangan semuanya, dan sekarang ia seperti tidak mau melepasnya lagi.

"Pa-pah per-gi, ma-mah per-gi." Ucap Adeera terbata-bata disela isak tangisnya.

"Papah disini, dek."

"Pa-pah per-gi," Adeera terbata-bata, nafasnya tidak beraturan karena masih menangis.

"Maafin papah."

"Pa-pah pergi, datang waktu mamah pergi, apa papah akan pergi lagi setelah ini? Terus, apa papah akan kembali saat salah satu diantara kita pergi?" Ucap Adeera meluapkan perasaannya, ia marah, ia benci, tapi semakin mengeratkan pelukannya, ia tidak bisa bohong jika ia juga merindukan papahnya.

"Maafin papah, maafin papah sebesar-besarnya."

Adeera masih menangis, "Papah, Deera kangen papah."

Ardan mengangguk, ia mencium pucuk kepala Adeera dengan lembut.

"Kak Aditya kangen papah."

Ardan kembali mengangguk.

"Kak Diba kangen papah, sekali."

"Iya, dek."

"Mamah juga kangen papah." Ucap Adeera, dan tangisnya kembali memuncak mengucapkan kata mamah.

"Papah lebih kangen, dek."

"Tapi, kenapa papah pergi?"

Hati Ardan seperti tertusuk berkali-kali, ia tidak menyangka perpisahannya dengan Nadia menimbulkan luka yang menjadi-jadi.

"Kangen yang seperti apa papah itu?"

"Maafin papah, papah ga akan pergi." Ardan memeluk Adeera lebih dalam lagi, kembali mencium pucuk kepala Adeera penuh cinta dan kerinduan. "Papah sayang Adeera, sayang Aditya, sayang Adiba, sayang mamah. Adek tahu itu."

Adeera mengangguk.

"Kita memang berpisah, tapi Adek tahu papah selalu sayang adek. Papah sayang semuanya."

My Other LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang