Bab 4

88 8 0
                                    

4. Seharusnya Begitu

"Kita kerjain fisika nih?"

"Iyalah, emang mau ngapain?" lelaki berbaju hitam dengan kemeja kotak-kotak bertanya balik.

"Lo bilang cuma boongin Naira. Kok beneran ada tugas fisika?" kali ini gadis dengan baju putih yang protes.

"Udah lah, kerjain aja, sih," kata Alvis sambil meneguk minuman dari atas meja besar di ruang tamu.

Sementara itu di luar, seorang perempuan sedang berlari dengan napas terengah-engah, menyebabkan rambut hitamnya yang dikuncir bergoyang ke kanan dan kiri. Ia mendesah, sambil mengatur napasnya, ia mendorong pintu gerbang besar di hadapannya dengan sekuat tenaga karena pagar tersebut terlalu besar untuk ukurannya.

Setelah akhirnya ia bisa membukanya, ia masuk dan berlari kecil di pekarangan rumah tersebut yang cukup luas, lalu melangkah ke teras depan. Gadis itu mengetuk pintu kayunya seraya melepas sepatunya dan merapikannya di samping sepatu-sepatu yang terletak di depan.

Pintu tersebut mulai berderit terbuka, menampilkan seseorang dengan rambut coklat muda yang digerai, kaos putih dan celana jeans pendek.

"Keringatan banget lo, Na," kata orang yang membukakan pintu baginya, yang hanya dibalas oleh anggukan kecil dan gumaman, "ya," oleh lawan bicaranya. Naira tampaknya terlalu lelah untuk membalas pernyataan Arletta, langsung masuk terlebih dahulu melalui celah pintu yang terbuka. Ia langsung merebahkan dirinya ke atas karpet tebal berwarna krem yang melapisi permukaan lantai ruang tamu rumah Arletta.

Deva, Alvis, dan Dea menoleh seketika begitu melihat Naira yang penuh dengan keringat tiba-tiba masuk dan rebah di atas karpet.

"Lo darimana, Na? Lama banget deh," protes Dea.

Masih dengan napas terengah-engah, Naira mencoba menjawab pertanyaan Dea, "udah gue bilang gue makan dulu tadi. Cerewet banget sih," keluhnya.

"Makan? Lo makan satu jam, Naira!"

"Makan kok bisa keringetan sampe segitunya? Lo makan bakso pake sambel kebanyakan ya?" canda Alvis.

"Makan kok bisa lama begitu? Makan baksonya di bulan ya?" lanjut Deva yang membuat semuanya tertawa.

"Aduh, iya, iya gue ceritain," sambil berkata begitu, Naira perlahan-lahan menegakkan tubuhnya dan duduk bersandar pada sofa hitam di belakangnya. "Tadi gue buru-buru banget ke sini habis makan, jadi gue lari ke sini. Tapi sayangnya, gue nggak liat kalau di depan rumah tetangga Arletta ada anjing, akhirnya gue dikejar dan gue harus mempercepat langkah gue supaya nggak kekejar sama makhluk mengerikan itu."

"Lo takut sama anjing, Na?" Arletta mengernyitkan keningnya tidak percaya.

"Gue kira lo nggak takut sama apapun," tambah Dea sambil menarik kedua ujung bibirnya, membuat senyuman nakal.

Mendengar hal itu, Naira langsung menggelengkan kepalanya. "Gue manusia, Dea, gue takut sama anjing."

"Nggak bilang, sih. Coba lo bilang dari kemaren, gue tungguin lo di depan gang, biar nggak dikejar anjing," kata Arletta sambil duduk bersila di sebelah Dea.

"Udah lah, kerjain yuk," ajak Naira. Ia mengeluarkan sebuah buku tulis dan alat tulis dari tas yang dibawanya. "Eh, tunggu! Arletta, minta makanan donnggggg," katanya dengan wajah memelas, membuat semua orang di dalam ruangan itu terkejut karena Naira baru saja makan sebelum ia ke sini tadi. "Bukannya lo baru makan?"

Naira terkekeh pelan, "Hehe, gara-gara lari jadi laper lagi," tangannya terangkat dan membuat huruf 'V' dengan kedua jarinya.

Arletta berdiri dan langsung masuk ke dapur untuk mengambilkan sesuatu dari sana untuk Naira dan yang lain. Ia menemukan sekotak donat dari atas meja makan beserta lima botol minuman markisa yang dibuat oleh mamanya sendiri dari kulkas. Setelahnya, ia menaruh kotak berwarna hijau itu dan minuman di atas meja ruang tamu.

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang