Alunan suatu lagu terdengar jelas dari sebuah ruangan kecil di pojok rumah. Seorang gadis dengan rambut yang dikuncir dua tengah duduk di atas kursi kecil berwarna hitam, di depan sebuah benda berukuran besar. Kesepuluh jarinya melompat kian kemari di atas benda tersebut.
Jemarinya tidak berhenti bergerak supaya lagu yang sedang dimainkannya tidak terputus. Walaupun hanya sederhana, tapi semua not terdengar dengan jelas dan indah.
Tirai berwarna hitam pekat yang ditutup menjelang malam, telah disingkapkan ke samping setiap pagi—termasuk pagi ini. Matahari yang sddang bersinar cerah di luar menyusup masuk ke dalam jendela besar itu. Tanpa menyalakan lampu pun ruangan itu sudah terang. Lagipula, gadis kecil itu tidak akan mungkin dapat menggapai saklar lampu untuk menyalakannya, berhubung anggota keluarganya yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing.
Satu-satunya pintu yang terletak di seberang jendela terbuka pelan-pelan. Seorang wanita dengan rambut hitam menekan gagang pintunya dan masuk ke dalam. Elvaretta Aengels. Begitu ia menutup pintu di belakangnya, ia langsung duduk di samping anak perempuannya.
Seketika itu juga gadis itu berhenti melakukan aktivitas yang dilakukannya sejak setengah jam yang lalu. Ia mengalihkan pandangannya dari piano dan menatap ibunya.
"Deva udah di bawah tuh, kamu nggak mau main sama dia?" tanya Elvaretta dengan lembut.
"Oke, aku beres-beres dulu!" balas anak itu dengan polos, disertai dengan sebuah senyuman manis khasnya. Gadis kecil itu menutup penutup pianonya dan memasukkan buku musiknya ke dalam sebuah rak kaca yang bersandar pada tembok bercat putih. "Aku turun, ya, Ma!"
Elvaretta hanya bisa menanggapinya dengan senyuman, karena sementara itu anaknya sudah melesat turun ke lantai bawah sambil melompat-lompat kecil.
Sesampainya di bawah, ia langsung keluar bersama seorang laki-laki. Laki-laki yang memiliki dua buah mata yang berwarna sama seperti dirinya. Keduanya lalu naik ke sepeda masing-masing, kemudian berlomba sampai ke sebuah taman. Mereka berdua bermain dengan asiknya tanpa henti. Berceloteh riang, tersenyum, dan tertawa seperti tidak ada yang namanya waktu di dunia ini. Sampai langit berubah warna menjadi jingga.
Matahari telah terbenam, namun tidak ada yang bergerak dari tempatnya sampai gelap. Hampir gelap, sebetulnya.
Sang lelaki menepuk dahinya sendiri. Ia terlalu sibuk bermain sampai tidak ingat waktu. Padahal, ia yang seharusnya bertanggung jawab atas anak perempuan yang sedari tadi bersamanya.
Ia membantu gadis itu dengan sepedanya, lalu naik ke sepedanya sendiri dan mengayuhnya sampai ke rumah. Walaupun Elvaretta melontarkan omelan kepada mereka berdua, tapi setidaknya mereka sudah bersenang-senang hari ini.
• • •
"Dia bangun!" sebuah teriakan terdengar setelah ia membuka kedua matanya dengan perlahan.
Arletta tau suara siapa itu, tapi ia memilih untuk tidak memusingkannya, karena kepalanya sudah terasa sangat pusing begitu ia menggerakkannya. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi dengan dirinya sebelumnya, tapi mungkin ia bisa memikirkannya nanti, atau menanyakannya langsung pada teman-temannya—yang sekarang berkumpul di kamarnya.
"Ya ampun, Ta. Untung lo nggak apa-apa. Gue takut lo koma tau nggak. Kita udah nungguin lo bangun lima tahun," kata suara itu lagi.
"Nggak selama itu sih, tapi ya intinya lo lama banget bangunnya," kata Deva.
Yang diajak berbicara jelas terlihat lebih bingung, tapi ia tersenyum menanggapi Dea. "Emang gue kenapa sih?" tanyanya polos seraya beranjak duduk.
"Eh.."
Semua saling tatap, bingung bagaimana harus menjawabnya. Mereka bertiga takut salah menjawab. Kalau salah jawab, bisa-bisa keadaan Arletta makin parah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imprfect
Teen FictionArletta, gadis yang selalu ceria tiap harinya. Gadis yang penuh dengan semangat untuk melakukan segala sesuatunya. Ia melewati hari-harinya bersama dengan ketiga temannya, Demetria, Alvis, dan Devano, belum lagi ditambah dengan adik kelasnya yang se...