Bab 12

26 7 0
                                    

12. Catatan

Tangannya menarik tirai jendela ke arah kiri, memperlihatkan langit tanpa awan berwarna biru yang masih sedikit gelap, mengingat saat itu masih pukul enam pagi.

Arletta mengambil tas sekolahnya dari atas sofa lalu menyampirkan benda penuh buku tersebut ke bahunya. Ia juga mengambil sebuah jaket berwarna abu-abu untuk ia kenakan nanti karena akhir-akhir ini, cuacanya tidak terlalu panas, ditambah pendingin di dalam ruang kelas Arletta yang sangat dingin membuat dirinya tidak akan fokus belajar karena kedinginan.

Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, ia melirik ke atas meja belajarnya, di mana sebuah buku dengan sampul warna kuning terletak. Perasaan ingin tahu menjalar di tubuhnya, tapi di saat yang sama, rasa takut juga menghampiri dirinya.

Singkat cerita, ia sampai di kelas pagi itu disambut oleh sahutan dari Naira dan Dea karena kedua matanya yang sembap, "Arlettaaaaaaaaaaaaa, mata lo kenapa begitu?!"

Arletta mengendikan bahunya tidak acuh, sementara tangannya melepaskan tas ransel dari kedua pundaknya. "Emang mata gue kenapa?" tanyanya balik padahal ia sudah tahu matanya yang biasa ceria itu hari ini seperti ditutup oleh awan kelabu yang besar, disertai dengan warna hitam yang tidak terlalu terlihat di bawah matanya.

"Lo nggak sadar?!"

Yang ditanya hanya menghelengkan kepalanya pelan dengan wajah polos seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

"Ya ampun, Taaaaa!! Lo harus ke toilet dan liat muka lo kayak gimana dan karena tampang lo udah kayak mayat hidup sekarang, Ta," kata Naira yang ditanggapi Dea dengan tatapan tajam.

Ketiganya tidak heran karena sekeras apapun Naira dan Dea berbicara tadi, tidak ada seorang pun yang menoleh ke arah mereka karena semua teman sekelas mereka tentu tahu kalau kedua gadis itu termasuk dalam kategori anak-anak cerewet.

"Nggak perlu, Na. Gue udah tahu kok mata gue sembap gitu," ucap Arletta pada akhirnya karena ia tahu kedua sahabatnya itu tidak akan berhenti mengganggunya kalau ia tidak kunjung menjawab pertanyaan mereka.

"Lo nangis lagi?" tanya Dea dan dugaannya benar-benar tepat karena setelah membaca surat yang dituls oleh Bintang, ia menangis sampai ia tertidur karena kelelahan sampai paginya. Terkesan seperti anak kecil memang, tapi Arletta sudah tidak tahu lagi apa yang harus ia perbuat.

Tanpa dijawab pun, Dea sudah mengetahui jawabannya dari raut wajah Arletta yang menunjukkan kalau ia memang menangis tadi malam.

"Kemaren pas pulang sekolah, Tante Lita kasih gue surat dari Bintang," balas Arletta pelan.

"Emm.. Jangan nangis lagi ya, Arletta. Kan lo punya gue dan Naira di sini. Lo bisa cerita ke kami kapan aja kok, yang pernah gue bilang—"

"Emang lo pernah bilang gitu?" Dea menyeletuk sebelum Naira menyelesaikan kata-katanya.

Naira memasang tampang datar ke arah Dea, "Bukan waktunya buat bahas itu. Intinya Ta, lo bisa cerita apa aja ke gue dan Dea. Yah, walaupun mungkin gue nggak bisa kasih saran apapun, tapi gue tahu kalau cuma dari mencurahkan isi hati lo, itu bisa bikin perasaan lo lebih enak kok."

"Asik, Naira ngomongnya udah kayak orang bijak."

"Emang gue udah bijak dari du—" Naira segera berhenti setelah menyadari kalau tadi Vano yang berbicara, begitu halnya dengan Dea yang tidak jadi tertawa.

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang