Bab 25

73 7 2
                                    

25. Bukan Akhir

"Beraaattt!!!" keluh Vano sambil menyeret ranselnya yang berukuran besar.

"Halah, segitu aja berat, punya gue gimana yang sebanyak gini?" komentar Dea iseng.

"Ibu-ibu rempong bawa barang banyak sih, baju bawa sepuluh, celana bawa sepuluh, baju tidur bawa empat, gantungan baju, mie instan, biskuit, coklat, permen, sandal, sepatu. Jangan-jangan lo bawa setrikaan juga, De," celetuk Alvis lalu tertawa, "sama itu apa namanya tuh? Hairdyer."

"Lo kira gue mau pindahan apa?! Bawa sebanyak gitu. Alvis, bawa setrikaan buat apaan? Emang gue pembantu? Lagian nih ya, kalau pun pembantu, mana ada yang bawa setrikaan kemana-mana? Hairdryer juga, mau colok di mana?" cerocos Dea pura-pura sebal.

Arletta menepuk punggung Dea dari belakang dengan pelan, "Udahlah, daripada ribut, kita duluan yaa, dadah cowok-cowok," Arletta tersenyum kepada Alvis dan Vano, lalu pergi meninggalkan mereka dengan mendorong tubuh Dea ke arah perkemahan dengan alasan agar tidak terjadi keributan di antara mereka, walaupun sebenarnya, Arletta hanya ingin mengobrol dengan sahabatnya itu.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum lanjut menanyakan yang ingin ditanyakannya, "Lo jadi pindah, De?"

Mendengar itu, Dea reflek menolehkan kepalanya ke arah Arletta, "Hah apa?" tanyanya.

"Itu, lo jadi pindah nggak?"Arletta kembali mengulang pertanyaannya.

"Oh," gumam Dea, "blom tau sih, masih nunggu kepastian dari mama. Tapi juga kan gue blom pasti pindah. Lagian ngapain pindah? Di sini kan ada sahabat terbaik di dunia yang pernah ada," ucapnya sambil merangkul Arletta.

"Ya makanya jangan tinggalin sahabat terbaik lo ini," kata Arletta sambil memasang wajah memelas.

• • •

"Jadwal hari ini ngapain aja? Mager gue."

"Di sebelah lo ada susunan acaranya, Devano Arsenio. Males banget sih lo."

"Kan udah gue bilang gue mager," komplain Vano tanpa berkutik sedikitpun dari tempatnya berbaring.

"Tapi kertas itu jaraknya gak sampe lima puluh sentimeter dari tempat lo tiduran."

"Tetep aja."

"Briefing," sahut seseorang yang tiba-tiba muncul di ambang tenda yang akan digunakan sebagai tempat beristirahat Vano dan Alvis malam ini.

"Males," gumam Vano sebelum menyadari bahwa yang berbicara barusan adalah Dea. Seketika ia langsung mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk saat mendengar suara Dea di depan tenda. Entah mengapa, kehadiran perempuan satu itu membuatnya agak merinding, seolah-olah Dea adalah seorang malaikat pencabut nyawa yang siap membuat Vano meninggal di tempat. Oke, oke, mungkin hanya Vano yang berlebihan. Tapi serius, Dea itu kadang agak menyeramkan.

"Yuk, Ta," ajak Dea seraya menggamit lengan Arletta dan menariknya ke arah sebuah gazebo yang cukup besar untuk memuat beberapa orang yang mengikuti briefing acara kali ini.

Alvis reflek berdiri dan segera mengejar kedua sahabatnya, meninggalkan Vano yang malang. Tapi biarkan saja, toh dia nggak niat buat ngapa-ngapain. Bernapas saja udah cukup bikin dia lelah kayaknya.

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang