21. Maafkan Mereka, Tolong
Rintik hujan mengenai kepala Arletta, menyebabkan perempuan itu menengadah dan setetes air hujan hampir masuk ke dalam matanya.
"Hujan lagi..."
Sudah entah berapa kali hujan turun dalam bulan ini. Hal itu sedikit menjengkelkan bagi Arletta karena hujan mengingatkannya pada kejadian-kejadian yang tidak enak dikenang.
Ya sudahlah, kan bukan ia yang mengatur segalanya.
"Ini dipake biar nanti lo nggak sakit, Letta. Daripada dianggurin," seseorang menyela lamunannya dengan menarik hoodie jaket Arletta.
"Eh lo udah maafin Naira blom?"
Arletta mengernyitkan keningnya bingung, ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan Dea, tetapi kenapa ia memilih yang ini? "Blom," jawabnya.
"Ta," Dea membalikkan badan Arletta dan memegang kedua bahunya, "lo boleh merasa kesal sama Vano dan Naira, tapi bukannya lebih enak kalau lo maafin mereka berdua? Kalau lo maafin mereka berdua kan lo nggak perlu cemas lagi, lo nggak perlu khawatir kalau ketemu mereka, lo nggak perlu merasa bersalah karena lo nggak maafin mereka. Kalau lo nggak mau temenan sama mereka lagi nggak apa-apa kok, yang penting maafin dan jangan nyimpan dendam—karena rasanya nggak enak dan rasa dendam terhadap mereka itu bisa berdampak buruk nantinya.
"Inget, gue akan selalu ada di samping lo," ucapnya dengan senyuman khasnya yang manis.
Arletta langsung tersenyum mendengar kalimat terakhir sahabatnya itu, ia bersyukur bisa punya teman sebaik Dea.
• • •
Jam di dalam kelas menunjukan pukul tiga, sementara bel sekolah berbunyi, menandakan sekarang waktunya untuk pulang.
Vano menghela napas panjang sambil meraih tas sekolahnya dari atas meja. Ia langsung berbalik sesaat setelah Dea menepuk bahunya. "Bentar lagi kan? Good luck, Van," gadis itu terkekeh.
"'Good luck, good luck,' lo kira gue mau nembak orang apa?" tanya Vano dengan suara tertahan supaya Arletta tidak mendengarnya dari bangku depan.
"Lah, lo emang mau nembak Arletta kan?" tanya Dea dengan wajah polos yang dibuat-buat, membuat Vano semakin sebal dengan dirinya, "ehehe, canda, lo kan udah punya Alya," Dea mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf 'V' sambil tersenyum, lalu berlari keluar kelas sebelum dicekik oleh Vano.
Vano mengembuskan napas pasrah seraya menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri sebelum akhirnya ia keluar dari kelas dan berjalan pulang. Kemarin Arletta bilang kalau ia mau bertemu dengan Vano hari ini sepulang sekolah di depan rumah Arletta. Jadilah Vano sekarang berjalan ke arah rumahnya—dan rumah Arletta karena letak rumah keduanya yang berseberangan.
Vano mendapati Arletta sudah duduk di pekarangan rumahnya sendiri sambil memandang ke langit yang berawan. 'Arletta suka banget sama langit...' batinnya.
"Gue duduk sini ya?" tanya Vano, membuyarkan pikiran Arletta yang lagi-lagi membawanya entah kemana.
Gadis itu menoleh ke arah Vano yang masih berdiri lalu tersenyum sebagai tanggapan atas pertanyaannya. "Gue nggak akan nyela sebelum lo selesai cerita. Tapi kalau kayak gitu, siap-siap aja gue nanya banyak hal dan lo harus bisa jawab," kata Arletta tanpa aba-aba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imprfect
Teen FictionArletta, gadis yang selalu ceria tiap harinya. Gadis yang penuh dengan semangat untuk melakukan segala sesuatunya. Ia melewati hari-harinya bersama dengan ketiga temannya, Demetria, Alvis, dan Devano, belum lagi ditambah dengan adik kelasnya yang se...