Bab 8

36 7 0
                                    

8. Jangan Panggil Demetria

Dea's POV

"Letta," panggilku kepada perempuan yang berjalan di sampingku.

"Ya?" balas Arletta

Nada suaranya lemah, nggak kayak suaranya yang dulu, yang selalu ceria. Tatapannya sayu, nggak kayak tatapannya yang selalu bersemangat seperti dulu. Wajahnya mencerminkan ia masih sedih atas sepeninggalan Kak Bintang. Aku benci melihatnya seperti itu.

"Gue boleh nanya sesuatu nggak?" tanyaku pada Arletta, tapi sebelum ia bisa menjawab, aku melanjutkan perkataanku, "egois nggak sih kalau gue minta lo balik jadi diri lo yang dulu? Gue.. Gue nggak suka liat lo sedih terus. Maaf ya gue terkesan terlalu frontal," ucapku dengan pelan. Bahkan kalimat terakhir lebih terdengar seperti bisikan.

Kekehan Arletta terdengar jelas di telingaku dan itu terdengar seperti dibuat-buat, "Biasa aja kali, dari dulu kan lo emang frontal, Dea. Santai aja, lo kayak ngomong sama orang asing aja."

Aku hanya mendesah, Arletta tidak menjawab permintaanku agar dia tidak sedih lagi. Aku tahu perkataanku yang meminta dia untuk tidak sedih lagi itu sulit karena aku pernah mengalaminya saat ayahku pergi meninggalkan aku. Tapi aku, Deva, dan Alvis bersedia kok untuk menbantu Arletta, sama seperti yang kami lakukan dua tahun lalu. Kejadian yang serupa tapi tak sama.

• • •

"Demetria!!"

Panggilan itu membuat gadis yang sebelumnya sedang membantu ibunya memasak reflek menoleh ke sumber suara dan menyunggingkan senyumnya. Ia berhenti mencetak adonan yang sedaritadi menjadi aktivitasnya selama lima belas menit terakhir dan melompat ke pelukan sang ayah.

"Anak kesayangan Papi," kata ayahnya seraya mengelus-elus kepala anak perempuannya.

"Iya dong," Dea melebarkan senyumannya dan mengeratkan pelukannya. Sudah tiga hari ia tidak bertemu dengan ayah kesayangannya itu. Ayahnya adalah seorang yang sangat sibuk, beliau harus bolak-balik keluar kota untuk pekerjaannya. Ayahnya hanya bisa berada di rumah seminggu dua kali, bahkan kalau sedang sibuk sekali, beliau sama sekali tidak akan pulang dalam satu minggu.

"Kamu bikin apa, Dea? Hmm, harumnya.." tanya ayahnya.

"Kue kering untuk Papi kesayangan Dea," senyumnya belum hilang dari wajahnya. Ia sangat senang karena hari ini ia bisa bertemu lagi dengan ayahnya. Tapi senyum itulah yang membuat ayahnya semakin merasa bersalah.

"Kalian ngobrol aja dulu di ruang keluarga, sebentar lagi selesai kok," kata Mami Dea menyarankan.

Jadilah sekarang, kedua anak dan ayah itu duduk bersebelahan di sofa ruang keluarga. Dea tidak henti-hentinya bercerita tentang apa yang terjadi selama ayahnya di luar kota, baik yang terjadi di sekolah, maupun yang terjadi di rumah. Matanya berbinar gembira seraya ia memaparkan segalanya, sementara bibirnya terus melengkung ke atas menciptakan senyuman di sela-sela kalimatnya.

Sang Ayah terkadang mengeluarkan tawaan kecil mendengar cerita-cerita konyol yang dijelaskan oleh anak perempuannya secara detail. Menurutnya cerita-cerita Dea sama konyolnya dengan cerita yang akan diceritakannya nanti, tapi tentu tidak menyenangkan dibanding dengan cerita Dea.

"Sudah! Sekarang giliran Papi yang cerita," ucap Dea setelah selesai dengan ceritanya, seperti biasa. Setiap ayahnya pulang dari luar kota, Dea selalu bercerita panjang lebar tentang kegiatan-kegiatannya, ditambah dengan cerita-cerita lucu bersama teman-temannya di sekolah. Setelah ia selesai baru giliran ayahnya untuk bercerita tentang apa yang terjadi selama perjalanannya ke luar kota.

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang