6. Luka
"Ta, cerita sama gue," Dea kembali berharap untuk yang kesekian kalinya Arletta akan menjawab dan membuka mulutnya untuk bicara.
Malam ini, kedua orang tua Arletta harus mengikuti acara pernikahan teman sekantor ayahnya, jadi Arletta diantar ke rumah Dea dan akan dijemput sekitar jam 10 atau jam 11.
Sudah setengah jam berlalu sejak Arletta datang ke rumah Dea, tetapi belum sepatah katapun dikatakannya. Mulutnya masih terkatup rapat seolah mulutnya terkunci oleh sebuah gembok besar. Kedua ujung bibirnya hanya ditarik sedikit untuk membuat senyuman tipis saat pertama ia datang, setelah itu ia tidak bersuara sama sekali.
Arletta menghembuskan napas berat, "Gue bingung, De. Kak Bintang kan bukan siapa-siapa gue, tapi kenapa gue merasa kehilangan?" tanyanya.
Dea tersenyum mendengarnya. Selain karena akhirnya sahabatnya itu berbicara, ia sebenarnya tahu Arletta sendiri mengerti kenapa ia merasa kehilangan atas kepergian Bintang, tapi ia merasa tidak yakin.
"Pastilah kalau lo merasa kehilangan, Ta. Kan lo udah nganggep Kak Bintang sebagai kakak kandung lo, jadi, ya jelaslah."
Arletta mengangguk lemah lalu terkekeh sendiri, "Ya ampun, gue kenapa dah. Cari martabak yuk, laper."
Mendengarnya Dea langsung tertawa, "Dasar labil, apaan sih tadi sedih tiba-tiba sekarang ketawa trus minta martabak. Yuk," ia lalu menggandeng tangan sahabtnya dan berjalan bersama ke arah festival makanan di dekat perumahan Dea.
Dalam perjalanan ke sana, mereka berdua tidak banyak berbicara. Dea sibuk memperhatikan keadaan lingkungan sekitar, sementara Arletta sibuk dengan pikirannya sendiri. Banyak pertanyaan beserta perkiraan jawabannya di benaknya. Berbagai macam perkiraan muncul di pikirannya. Dan tidak lupa dengan memori-memori masa lalunya yang kelam, diselingi dengan beberapa potongan ingatan-ingatan masa kecilnya-seperti yang dimimpikannya kemarin.
"Aduh! Maaf!" serunya tiba-tiba.
Arletta mungkin sedikit terlalu sibuk berpikir sehingga ia tidak sadar kalau ia terus berjalan ke arah seseorang yang sedang santai makan makanannya. Dan sekarang mangkuk bakso yang dipegangnya miring dan tumpah ke kemeja lelaki yang ditabraknya dan kaos putih yang dipakai Arletta.
"Maaf, maaf!" ulangnya lagi sambil menepuk dahinya. Kenapa dia bisa seceroboh ini?
"Ta, lo..." Dea tidak menyelesaikan kalimatnya setelah mendapati Arletta yang sedang kesulitan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah dilihatnya.
"Maaf, maaf banget!! Aku nggak ngeliat. Aku ganti makanannya deh, be-"
Secara tiba-tiba laki-laki itu tersenyum manis ke arah Arletta, "Udah, nggak apa-apa kok, salah gue juga tadi nggak ngeliat lo lagi jalan di situ. Bentar, gue ambilin tisu," ia berhenti sejenak dan mengambil tiga lembar tisu yang terletak di atas meja si penjual, lalu memberikannya pada Arletta. "Nih."
Sinar lampu yang mengarah ke arah laki-laki itu membuat Arletta dan Dea dapat melihat wajahnya. Kelihatannya umurnya sedikit lebih tua dari keduanya, mungkin satu atau dua tahun lebih tua. Wajahnya terlihat manis, ditambah dengan senyuman yang ditunjukkannya.
"Eh, maka.. sih," ucap Arletta kikuk. Ia bingung harus berkata apa kepada orang yang ditabraknya, jarang-jarang ada manusia baik seperti ini yang memaafkan seseorang yang menabraknya, apalagi sampai diberikan tisu untuk membersihkan bekas kuah yang tumpah di bajunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imprfect
Teen FictionArletta, gadis yang selalu ceria tiap harinya. Gadis yang penuh dengan semangat untuk melakukan segala sesuatunya. Ia melewati hari-harinya bersama dengan ketiga temannya, Demetria, Alvis, dan Devano, belum lagi ditambah dengan adik kelasnya yang se...