Bab 22

37 7 2
                                    

22. Aku Arletta dan Aku Tidak Sempurna

Air hujan menetes di tanah, ke dalam kumpulan air yang sudah lama menggenang, menyebabkannya berbunyi pelan.
Matahari menyembunyikan dirinya di belakang awan, yang setia menyelimuti langit dengan tubuhnya yang kegelapan.
Sementara aku, berdiri di selasar kelas, memandang keluar sambil berpikir,
"Tinggal satu lagi, dan semuanya berakhir."

Aku merasa senang karena semuanya sudah hampir jelas dan hampir selesai. Hanya tinggal satu langkah lagi dan seluruh beban yang kupikul belakangan ini akan pergi. Tinggal sedikit lagi. Tapi harus aku akui, ternyata memaafkan Vano meringankan bebanku—sama seperti yang Dea bilang kemaren. Karena udah berdamai sama Vano, aku nggak perlu lagi cemas saat dia datang, aku nggak perlu lagi khawatir dia akan bilang apa kepadaku, dan aku masih berteman sama dia.

Kata-kata Alvis masih berputar-putar dalam kepalaku, membuat aku berpikir tentang hal itu. kalau di dunia ini nggak ada yang sempurna.

Mulai dari aku, Arletta Victorine Athena, aku selalu berusaha mendapatkan hal yang terbaik dalam segala hal, mulai dari nilai-nilai pelajaran sampai hal-hal sepele. Buatku, nilai pelajaran-pelajaranku di sekolah harus sembilan puluh atau lebih, kurang dari itu, aku akan merasa gagal. Terlalu posesif, memang, tapi begitulah aku. Terlepas dari itu semua, keluargaku juga sekarang tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna lagi untuk selamanya karena seorang Devandro udah nggak ada di sini. Kak Deva dan Kak Bintang udah pergi dan nggak bakal kembali lagi.

Lalu ada Dea, Demetria Candace Alenna, keluarganya juga nggak sempurna, begitu juga dirinya. Sampai sekarang, tujuh tahun setelah ayahnya yang tega meninggalkan anak perepmuan satu-satunya bersama ibunya, belum sekali pun Dea pernah berpikir untuk memaafkan seseorang yang dulu ia panggil 'ayah' itu. Ia masih membenci ayahnya, ia masih membenci barang-barang yang berkaitan dengan ayahnya, ia masih benci dengan hal-hal yang bersangkutan dengan ayahnya, dan dia masih membenci nama 'Demetria'.

Devano Arsenio yang paling nggak bisa pelajaran Bahasa Indonesia, Fisika, sama satu lagi, Mat. Dia itu baiiiiiiikkk banget—kayak mamanya, dia udah pernah bilang kan? Intinya nih ya, dia itu.. semua orang bilang dia perfect. Abis, kalo dipikir-pikir, nyari "ketidaksempurnaan"nya seorang Devano itu susahnya minta ampun. Orangnya cakep, apa-apa bisa, trus baik lagi. Tapi kan nggak ada orang yang sempurna, jadi dia pasti punya kekurangan.

Terakhir, Alvis Adhyasta yang sepanjang hidupnya selalu dibanding-bandingin sama saudara kembarnya. Aku belum pernah dibanding-bandingin sama Kak Deva sih, tapi yang namanya dibanding-bandingin sama orang lain pasti nggak enak, apalagi sama saudara sendiri.

Ah, udahlah, daripada ngomongin itu, sekarang ada hal lebih penting yang harus aku lakuin—maafin Naira.

Tadi sih bilang mau ketemuan di lobi, tapi kayaknya dia lagi dipanggil guru deh, jadinya agak telat gitu. Ya udah, tungguin aja sampe orangnya dateng, semoga nggak lama.

"Arletta, kan?" seseorang mengagetkanku dari belakang, membuatku langsung menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilku. Kayaknya kenal suaranya, tapi nggak kenal orangnya.

Ada dua orang yang berdiri berdampingan di hadapanku sekarang, satu cewek dan satu cowok. Keliatannya sih seumuran sama Kak Bintang atau Kak Deva. Tapi.. siapa?

Sadar belum menjawab pertanyaan salah satu dari mereka mengenai namaku, aku lantas mengangguk sambil terus memerhatikan mereka berdua, mencoba mengingat apakah aku pernah melihat mereka di suatu tempat.

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang