Bab 18

30 7 0
                                    

18. Dua

Ia memejamkan matanya cukup lama sebelum akhirnya melangkahkan kedua kakinya yang bergetar ke depan ruang kelas. Ia membalikkan badannya ke arah teman-teman sekelasnya yang duduk di bangku mereka masing-masing, menatap gadis itu berjalan dari tempat duduknya ke meja guru dengan sangat hati-hati.

"Siap?" tanya salah seorang sahabatnya yang sudah selesai berkutat di depan laptop yang terletak di atas meja guru sejak lima belas menit yang lalu.

Tanpa bisa memilih pilihan lain, ia menganggukkan kepalanya sambil memulai presentasinya.

• • •

"Kalau dari awal begini kan kamu nggak perlu remedial, Arletta," ucap Pak Rafael sambil tersenyum tipis.

Arletta yang diajak bicara oleh guru Fisika itu tidak bisa membalas dengan apa pun kecuali anggukan pelan dan senyuman kecil. Tidak peduli dengan nilai sebelumnya, yang terpenting sekarang ia sudah melewati nilai KKM.

Setelah meminta diri dari Pak Rafael, Arletta berjalan bersisian bersama Dea yang mengikutinya ke mana pun ia pergi.

"Satu masalah selesai," gumam Arletta pelan, sampai Dea tidak bisa mendengarnya.

Ada seseorang yang mengikuti mereka sedari tadi tanpa diketahui keduanya—atau lebih tepatnya, tanpa sepengetahuan Arletta. Naira mengikuti Arletta dan Dea diam-diam, mencari saat yang pas untuk menghampiri Arletta dan menceritakan seluruh kejadian yang terjadi padanya.

Di satu sisi, Naira senang, karena lebih cepat ia memberitahu Arletta, lebih cepat satu bebannya hilang. Tapi di sisi lain, Naira cemas, ia bingung apa yang harus dilakukan kalau Arletta tidak menerima permintaan maafnya.

Di suatu saat, muncul pikiran dalam benaknya yang membuatnya menghembus napas lega, 'Arletta kan baik, dia pasti mau ngampunin gue lah.' Tapi di detik yang berikutnya, sebuah kalimat lain membuatnya kembali cemas, 'Tapi kan dia bisa berubah. Bisa-bisa dia nggak maafin gue.'

'Aduh, gue harus ngapain?!'

Tanpa ia sadari, kedua kakinya berjalan ke arah Arletta dan Dea berjalan. 'Gue harus bisa, gimanapun caranya,' tekadnya dalam hati.

"Letta!" panggil Naira, "gue mau ngomong boleh nggak?"

Dea sedikit menjauhkan diri dari Arletta supaya Naira bisa berjalan di antara keduanya, untuk memudahkan Naira berbicara kepada Arletta.

"Apa yang harus diomongin?" tanya Arletta dengan nada datar, tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya—matanya masih menatap ke arah depan.

"Gue mau ngomong, gue mau cerita, gue mau jelasin semuanya yang perlu lo tahu, Arletta. Gue mau minta maaf buat semuanya. Gue tahu gue salah, dan gue terlalu bodoh sampai gue bisa lakuin hal yang akan gue sesali nanti. Gue cuma mau jelasin semuanya, Ta. Gue ngerti kok kalo lo nggak mau maafin gue dan udah nggak mau temenan sama gue lagi. Tapi tolong Arletta, kasih gue kesempatan buat jelasin," nada suaranya semakin melemah.

Arletta berhenti di tempatnya sebentar secara tiba-tiba, membuat Naira hampir menabrak dirinya, tapi untung ia berhasil menahan dirinya supaya tidak menabrak Arletta.

"Oke, gue kasih lo kesempatan buat cerita lima menit, gue kasih kesempatan buat lo omongin segalanya, gue kasih lo kesempatan buat jelasin semuanya yang lo butuh jelasin," ucap Arletta pelan, tapi cukup tertangkap telinga Naira sehingga gadis itu tersenyum lebar, "tapi dengan catatan, gue nggak bakal mutusin keputusan gue untuk apain lo hari ini. Mungkin nanti sore, mungkin nanti malam, mungkin besok, mungkin minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau nggak sama sekali."

Setelah menghembuskan napasnya, Naira mulai bercerita tentang kejadian yang sebenarnya kepada Arletta dengan Dea mendengarkan di samping, mencoba mengingat-ingat apakah yang dikatakan Naira sama seperti yang gadis itu katakan padanya dua malam yang lalu. Dan ternyata memang sama.

Mulai dari bagaimana Bella dan Silia menariknya ke kantin sampai Rishta dan teman-temannya memaksa Naira untuk bercerita.

"Selesai?" tanya Arletta memastikan.

Naira mengangguk sebagai tanggapan dari pertanyaan singkat itu.

"Kayak yang gue bilang tadi, gue nggak bisa mastiin keputusan gue sekarang. Jadi kalau boleh, sekarang gue pergi dulu."

Dea tidak berkutik dari tempat duduknya, tapi malah tetap duduk di atas bangku bersama Naira yang menatap punggung Arletta seraya ia pergi.

Setelah memisahkan dirinya dari Naira dan Dea, diri Arletta seolah terbagi dua bagian. Satu bagian mengatakan bahwa dirinya terlalu kejam karena telah melakukan hal yang barusan itu terhadap Naira, tapi satu bagian lain  mengatakan, "Sekali-sekali nggak apa-apa lah gue berbuat kayak begitu. Kan kata orang, gue terlalu baik, jadi nggak apa-apa lah kalau sekali-sekali begini."

Arletta mengesampingkan kedua pikiran tersebut lalu kembali menggerakkan kedua kakinya tanpa tahu ke mana alat gerak tersebut akan membawanya. Ia tidak peduli untuk sekarang ini, karena ia juga tidak tahu ke mana harus ia pergi.

Sampai di suatu titik, ia merasa tahu ke mana ia bisa pergi, ke tempat ia bisa sendirian tanpa ada yang akan mengganggunya.

Ia melangkahkan kakinya terus tanpa jeda semenit pun, ke tempat yang ingin ia tuju untuk menghabiskan waktunya sampai jam istirahat selesai.

Sesampainya di sana, ia duduk di atas sebuah bangku yang sudah lama ia tidak duduki karena memang tiga bulan belakangan ini, ia tidak pernah mendatangi tempat ini lagi.

Sambil merasakan angin kencang yang membelai wajahnya dan meniup beberapa helai rambutnya yang tidak ikut terikat, ia memandang ke arah langit yang tidak cerah karena matahari berada di belakang awan gelap yang kini sudah mentupi hampir seluruh permukaan langit layaknya kapas.

Ia senang dengan pemandangan yang ia lihat sekarang ini dan juga udara yang menyenangkan di siang hari ini. Ia tersenyum pahit memandang langit di atasnya sambil sesekali memejamkan matanya, merasakan angin yang membelai wajahnya pelan dan menemani siangnya hari ini.

"Kak Deva, Kak Bintang, aku kangen kalian."

Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulutnya selama ia berada di atas atap sekolah sebelum pada akhirnya ia turun ke dalam sekolah dan masuk ke dalam kelasnya beberapa saat setelah bel tanda selesai istirahat dibunyikan.

"Ta, nanti sore gue ke rumah lo, ya," Alvis berkata, lalu berlalu pergi ke arah tempat duduknya sendiri.

•••

Ia diam di dalam kesibukan kota
Ia memandang keluar jendela
Hanya untuk memandang sahabatnya
Yang masih setia menemaninya

Di malam yang gelap ini
Hanya ada bulan yang menemani
Bersama bintang yang menyinari
Kota padat tanpa henti

Matahari masih setia menampakkan dirinya
Tidak seperti ia yang sudah menyerah
Menjadi sumber ceria bagi sekitarnya
Karena ia merasa lelah

Ia yang dahulu cerah
Sekarang bahkan tidak menunjukan senyumnya
Senyum yang sudah lama punah
Bersama dengan kenangan-kenangan terindahnya

24.10.17
28.10.17

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang