7. Ujian
"Yang namanya Arletta boleh keluar?"
Muka Arletta tambah pucat mendengarnya. Mau apa sebenarnya perempuan itu? Untuk apa Rishta memanggil Arletta keluar? Padahal Arletta tidak pernah dan tidak mau berurusan dengan manusia sepertinya.
Semua mata langsung tertuju kepada Arletta yang perlahan-lahan berdiri dari tempat duduknya menuju pintu depan. Masing-masing dari mereka bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi, termasuk Arletta. Tapi ia tahu ia tidak akan mendapatkan jawabannya sendiri selain dengan menghampiri Rishta.
Perempuan itu menutup pintu di belakangnya dan menyilangkan kedua lengannya di depan dada dan terkekeh, diikuti oleh kedua temannya yang setia berdiri di sebelah kanan dan kirinya.
"Oh, jadi ini tampang anak teladan sekolah kita? Lesu, pucat, keliatannya desperate amat. Kehilangan seseorang ya?" sindir Rishta dengan kekehannya yang tidak enak didengar.
"Ngomong dong, lo nggak punya mulut?" tanya seorang teman Rishta yang namanya tidak diketahui oleh Arletta.
"Mau lo apa, Rish?" tanya Arletta datar, tanpa mengacuhkan perkataan dan pertanyaan kedua orang itu.
"Mau gue? Gue mau Kak Starla balik lagi, Arletta!" teriak Rishta.
Arletta mengerutkan dahinya bingung. Bagaimana Rishta kenal dengan Bintang? Dan bagaimana caranya mengembalikan seseorang yang sudah meninggal?
"Kak Bintang udah nggak ada, Rishta. Nggak bisa kembali lagi," Arletta mengucapkannya dengan pelan, ia tidak bisa membalas Rishta dengan teriakan karena sementara itu ia menahan air matanya supaya tidak menetes.
"Ya, semuanya gara-gara lo, Arletta. Kalo bukan gara-gara lo, Kak Starla nggak meninggal!!" cecarnya.
Sebuah tepukan di bahu Arletta membuatnya mendongak untuk melihat siapa itu. Seseorang dengan kemeja rapi dengan celana panjang berwarna hitam tengah memperhatikannya dengan bingung. "Arletta! Sedang apa kamu di sini? Cepat masuk! Dan kalian," katanya sambil berpaling ke arah Rishta dan kawan-kawannya, "kalian bukan dari kelas ini kan? Kalian ngapain di sini? Masuk ke kelas kalian!"
Arletta cepat-cepat menyeka kedua matanya dengan punggung tangannya dan masuk ke dalam kelas seolah tidak ada yang terjadi. Ia menggumam sebuah kata, "Makasih," kepada Pak Rafael karena sudah menyelamatkannya dari pertengkaran yang mungkin terjadi dengan Rishta.
"Yang sudah selesai meringkas silakan dikumpul ke ketua kelas. Marchell, kamu kumpulkan buku teman-teman dan taruh di atas meja saya di ruang guru. Yang belum pulang sekolah bertemu dengan saya di meja piket. Dan terakhir, yang kabur akan diberi hukuman tersendiri," jelas Pak Rafael di depan kelas. "Satu lagi, ada yang tau nama dan kelas tiga anak perempuan yang bicara dengan Arletta di luar tadi?" tanyanya.
Tidak ada yang mau angkat bicara mengenai Rishta dan teman-temannya sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Akhirnya, tugas untuk mencari tahu informasi tersebut diserahkan kepada Marchell. Tapi ia tidak perlu repot-repot bertanya ke kelas-kelas lain karena ia sebetulnya sudah tahu jawabannya. Kalaupun ia tidak tahu, ia bisa langsung bertanya kepada teman-teman sekelasnya siapa ketiga orang tadi. Tapi itu tidak mungkin, karena yang sudah dikatakan sebelumnya, Rishta adalah salah satu dari sekian banyak anak-anak populer di sekolah mereka, tidak terkecuali Marchell sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imprfect
Teen FictionArletta, gadis yang selalu ceria tiap harinya. Gadis yang penuh dengan semangat untuk melakukan segala sesuatunya. Ia melewati hari-harinya bersama dengan ketiga temannya, Demetria, Alvis, dan Devano, belum lagi ditambah dengan adik kelasnya yang se...