Bab 17

41 6 0
                                    

17. Gue Vano

Gue memandang pantulan gue dalam cermin di hadapan gue. Tiga kata untuk seseorang yang memiliki bayangan tersebut : berantakan, nggak jelas, bimbang. Itu yang gue rasain sekarang. Gue merasa berantakan, nggak jelas, dan bimbang.

Gue merasa hidup gue berantakan, lebih berantakan daripada gudang rumah gue yang nggak pernah dimasuki sama mama gue saking berantakannya ruangan itu. Paling yang masuk ke dalam situ cuma pembantu rumah gue doang. Selain itu, nggak ada yang mau masuk ke dalam situ.

Gue sadar akhir-akhir ini gue lebih deket sama Alya, dibandingkan sama Dea, Arletta, dan Alvis. Kalau dipikir-pikir sih, sebenernya nggak ada salahnya kalau gue deket sama Alya, cuma gue nggak perlu menjauh dari ketiga sahabat gue itu. Seakan itu aja nggak cukup, gue malah bentak Arletta seenak gue dan gue malah marah-marah ke dia dan Dea. Kata-kata terakhir Dea tadi bener-bener bikin gue merasa gue udah keterlaluan. Gue harus minta maaf sama Arletta, Dea, dan Alvis. Secepatnya. Tapi, gue nggak tau cara penyampaiannya. Mungkin kalian semua nyalahin Ayla dalam masalah ini, tapi gue rasa penyebabnya bukan dia, tapi gue.

Di balik kedekatan gue dan Alya, ada sebuah alasan yang mungkin—yah, nggak penting-penting amat, tapi nyatanya, keluarga dia sama keluarga gue terlibat. Sebenernya masalahnya simpel, cuma masalah emak-emak rempong yang kayak di sinetron-sinetron. Jadi, mamanya Alya dan mama gue itu sahabatan dari SMA, udah lama nggak ketemu, trus waktu ketemu malah merepotkan anak-anaknya. Karena mama gue yang kelewat baik, dia nyuruh gue buat jagain anak cewek temen kesayangannya yang jauh lebih disayang daripada anaknya yang malang ini. Jadilah gue yang setiap hari kemana-mana harus ngikutin Alya kalau nggak mau diteror sama mama gue.

Mama gue itu sebenernya baik, kayak yang gue bilang tadi, tapi kadang baiknya itu kelewatan. Bayangin nih ya, dari hari Senin sampe hari Jumat, gue harus temenin Alya kalau lagi nggak pelajaran, itu udah menguras waktu gue yang harusnya bisa gue habiskan bareng temen-temen gue. Saking baiknya mama gue, dia nyuruh gue kalau hari Sabtu luang, gue ajak Alya jalan-jalan. Kalau dipikir-pikir kan nggak masuk akal  Alya kan bukan siapa-siapa gue, kenapa gue harus ajak dia jalan? Lagi pula nih ya, gue dan dia sama-sama manusia kan, jadi gue punya hidup sendiri, dia juga punya hidup sendiri—kita punya kesibukan masing-masing.

Gue menghembuskan napas lelah untuk keseratus kalinya minggu ini. Lama-lama mama bisa jodohin gue sama Alya nih. Aduh, gawat!

Ah, sebodo lah. Itu urusan nanti. Toh mama belum bilang apa-apa. Intinya, sekarang gue harus cari cara buat minta maaf dan jelasin semua masalah ini ke Arletta, Dea, dan Alvis.

Gue melirik jam tangan yang terikat di lengan kiri gue yang menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul 15:40. Kalau gue ngajak ketemuan, pada mau nggak ya?

Gue menghempaskan diri ke atas ranjang sambil memandang layar gelap ponsel gue.

Ah, pasti masih pada kesal. Kalau gue telepon nanti malah makin ngamuk—apalagi Dea.

Biarpun begitu, tanpa sadar tangan gue mulai mencari kontak Alvis yang tidak sulit ditemukan karena berada di paling atas urutan kontak gue.

"Va.. no??" panggil Alvis dari seberang yang lebih terdengar seperti memastikan kalau yang sedang ia ajak bicara adalah gue.

"Iya, gue Vano," ucap gue pada akhirnya, "kita bisa ketemuan nggak? Bareng Arletta dan Dea juga. Gue utang penjelasan buat kalian."

ImprfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang