10

118 18 18
                                    

Arra memandangi sosok dihadapannya. Ia berpikir apakah sedang berimajinasi, tapi ternyata tidak. Kenyataannya selang infus masih melekat di tangan kanannya. Dan plester penurun demam masih tertempel di dahi. Ia seratus persen sudah bangun. Tapi Arra masih tak percaya.

"Kau sudah baikan?" Tanya orang itu. Topi yang ia kenakan merenggang dan wajahnya kini tampak dengan jelas.

Pria itu, tidak tahu kenapa serasa tidak asing bagi Arra. Tapi ingatannya tak betul-betul bisa dipercaya. Karena merasa tak kenal memilih untuk tak mengubrisnya. Arra justru mulai memindai keberadaan Yorim Sunbae yang tak terlihat. Lagipula tak baik jika seorang gadis dan pria berada di satu tempat.

Pria itu tampak aneh. Arra sesekali melirik dengan tetap diam ditempat. Pria itu seperti ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Tapi berulang kali ia menjatuhkan pandangan pada lantai dan mengusap leher bagian belakangnya.

Arra rasa ini mungkin sudah tidak benar. Pelan-pelan gadis itu mencabut selang infus yang nyatanya sudah kosong isinya. Ia sengaja tak menimbulkan banyak suara dan turun dari ranjang klinik. Sorot mata Arra masih tak bisa lepas dari pria itu. Tatapan tajamnya seakan sesuatu yang tak bisa diperdaya.

Pria itu mendongak. Ia mendapati Arra sudah bersiap pergi. Dan bodohnya ia juga bergerak tiba-tiba. Itu bisa menakuti Arra dan membuatnya berpikir yang tidak-tidak.

"Itu... ada yang ingin aku tanyakan padamu. Sebentar saja," cegah pria itu.

Arra melirik keadaan sekitar. Pintu klinik terbuka lebar, ia bisa lari dengan cepat jika pria ini macam-macam. Arra akhirnya menurut dan memilih berdiri di sisi ranjang yang bersebrangan. Tangannya tak bisa lepas dari tas ranselnya dan tatapan pada celah untuk pergi.

"Anu,... Arra-ssi. Sudah lama tidak bertemu ya," ujar pria itu.

Arra menyerngitkan dahi. Ia terkaget dengan kenyataan jika pria asing di hadapannya ini tahu namanya. Dan buruknya lagi, ia berbicara seolah sudah pernah bertemu dengan Arra.

Melihat reaksi Arra, pria itu sadar bahwa ucapannya salah. Harusnya ia tidak berbelit-belit dan membuat Arra menjadi ketakutan. Apalagi, Arra sepertinya bersiap untuk pergi. "Eh, maksudku... Kau kenal aku kan?"

Arra semakin bingung. Mungkin pria dihadapannya ini salah orang. Arra hendak melangkah pergi, dan pria itu kembali mencegahnya. "Apa kau menemukan flashdisk milikku? Mungkin terjatuh saat kita bertabrakan lusa kemarin," jelasnya tiba-tiba.

Arra membuka matanya seakan ada yang hampir mencoloknya. Ia sekarang paham apa yang dibutuhkan pria di hadapannya ini. Pantas saja Arra merasa tak asing, rupanya pria ini pemilik penyimpan keras yang ia temukan. Juga pria tersebut terjatuh karena kesalahan Arra yang berlarian dan terburu-buru.

Arra mulai paham dan mengangguk tanpa sadar. Pria itu mendapati respon bagus dan langsung merekahkan senyum. Deretan gigi telah merubah matanya menghilang menjadi sebuah garis.

"Dirumah, besok aku bawa," balas Arra.

Hoshi, nama pria itu. Jelas-jelas seorang artis idola kesukaan Arra. Bodohnya gadis itu tak bisa mengenali wajah orang dengan mudah. Ia menganggap semua orang korea berwajah sama, kecuali Bohyuk yang ia lihat setiap hari. Padahal ini kesempatannya untuk meminta tanda tangan ataupun swafoto.

"Besok ya? Apa tidak bisa hari ini," tanya Hoshi.

"Saya ada kelas," jelas Arra dengan sangat jelas dan padat.

"Kalau begitu aku akan menunggu sampai kelasmu berahkir," desak Hoshi. Arra jadi kesal, tiba-tiba pusingnya datang lagi dan ia tak bisa menahan berdirinya. Ia mencoba terlihat senormal mungkin dengan bertumpu pada sisi ranjang.

"Saya ada pekerjaan, permisi."

Arra melamgkahkan kakinya menuju pintu tapi Hoshi menerjangnya tepat dihadapan. Pria itu mungkin sedikit nekat dengan menghalangi jalan Arra.

"Kalau begitu bisa tukar nomor? Isi benda itu sangat pemting dan aku tak bisa tenang sampai aku benar-benar meihatnya di tempatmu."

Jika saja Arra tak ingat tentang sopan santun. Mungkin gadis itu sudah memaki dan mendorong pria pemaksa itu. Dan jika saja ia sadar di hadapannya adalah sosok yang terkadang ia lihat videonya di komputer, pasti lebih malu lagi.

Arra mendesah sepelan mungkin. Dengan menundukkan kepala ia menyamarkan itu. Kemudiam dengan senyuman yang ia buat secara paksa, ia mengambil ponsel yang sudah disodorkan kepadanya. Belum sempat Arra mengetikkan nomornya pada ponsel itu, tiba-tiba sesuatu terjadi.

Arra kembali merasa sesuatu sedang menyerangnya. Kini tepat berada di kepalanya. Spontan tangannya meremas kepala, dan berdirinya tak kuat lagi.

"Hey! Kau baik-baik saja?" Tanya Hoshi yang panik.

Arra tak yakin. Tapi gadis itu hanya mengangguk. Ia menahan sebelah tangannya pada pintu untuk sejenak mencari kesadaran.

Arra menatap Hoshi dengan tatapan sendunya. Baru ia sadari jika pria itu sudah melepaskan topinya. Tatapan sendunya mengingatkannya pada video yang sering ia lihat di komputer temannya sewaktu di Cina. Tapi apa mungkin pria ini adalah orang yang sama dengan idolanya? Sepertinya mustahil, pikir Arra.

"Darah! Hidungmu berdarah.." teriak Hoshi.

Kini pria itu semakin mendekat dan menarik ujung jaketnya untuk menahan darah di hidung Arra. Namun terlambat, Arra sudah lebih dulu menarik ujung sisa lipatan kerudungnya.

Darah, benar-benar darah. Arra kembali mimisan. Gadis itu semakin terlihat pucat pasi dari sebelumnya. Dan kepalanya kembali sakit. Ia menunduk dan semakin tertunduk. Matanya menatap lantai dan bayang-banyangnya terasa kabur. Ia merasa memberat dan mencoba berpegangan lebih erat.
Seiring itu pandangannya menghitam, dan Arra tak sadar.

"Hey! Arra-ssi! Sadarlah," panggil Hoshi.

Ia berhasil menangkap Arra sebelum benar-benar terantuk lantai. Hoshi mencoba menepuk pipi Arra untuk mendapat kesadaran. Hasilnya nihil.

Ia tak bisa meminta bantuan. Apalagi ia sudah meminta penjaga klinik untuk pergi sebentar.  Dan kini Hoshi menjadi panik karena seorang gadis yang asing telah pingsan dengan darah yang mengalir dari hidungnya.

Hoshi tak ada pilihan lain. Aku akan membawanya ke rumah sakit, pikir Hoshi.

Bersambung...

Define ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang