Part 24

6K 277 29
                                    

Aku melangkah menuju pintu masuk kantor dan tanpa sengaja aku berpapasan dengan Satria. Tapi dia langsung mengalihkan perhatiannya kê ponsel yang ada ditangannya dan berjalan melewati aku. Ada apa? Dia marah padaku?

Sudahlah aku abaikan saja. Kalau aku memberi perhatian lebih, nanti dia menaruh harapan lagi padaku. Sesampai di ruanganku dan setelah merapikan sedikit beberapa berkas yang tidak  beraturan, akupun melihat ke agenda kerja ku, dan melihat pekerjaan apa saja yang sudah aku selesaikan dan apa yang akan aku kerjakan hari ini. Setelah mengecek dan merasa telah aman, aku menekan tombol whatsapp. Aku mengetikkan pesan singkat kepada bang Sakti.

"Hari ini Lili akan beri jawaban, tunggu lah di tempat biasa, jam satu"

send....

Semenit kemudian..
Notif penanda pesan masuk berbunyi..

"Iya, semoga Allah mengabulkan doa abang." Aku tersenyum membaca pesannya.

Aku menghela nafas, ada sedikit perasaan lega dihatiku, ntah lah. Aku pun tidak tau apa alasan dari kelegaanku. Aku pun melanjutkan pekerjaanku dengan hati yang tenang. Rasanya hari ini semangat ku semakin bertambah saja.

------------------

Aku melangkah tergesa gesa, dari kejauhan aku telah melihat bang Sakti duduk dikursi yang pernah kami pesan dulu.

"Maaf bang terlambat, bang Sakti sudah lama?"

"Gak apa apa Li, abang juga baru sampai."

"Kita pesan makan dulu ya? Abang lapar."

"Iya terserah abang saja." sahutku

Setelah bang Sakti memesan makanan, kami kembali hening. Aku tidak tau harus mulai dari mana, ampun lah aku jadi kikuk sendiri.

"Lili kemari naik apa tadi?"

"Hmm? Eh .. naik sepeda motor bang, seperti biasa."

"Hati hati ya Li, mending tadi minta abang jemput. Jam istirahat begini dimana mana rame. Takut abang Lili kenapa kenapa dijalan."

Sambil tersenyum tipis, "in shaa allah gak apa apa bang. Makasih telah khawatir."

Kemudian kami pun kembali hening, situasi pun terselamatkan dengan kedatangan pesanan kami.

Sejenak pikiranku teralihkan dari gugup menjadi biasa kembali, kami menyantap makan siang kedua kami dengan tenang, dibarengi dengan kelakar kecil dari bang Sakti. Ternyata bang Sakti humoris.

Setelah kami selesai dengan makan siang, jantung ku kembali berdebar debar. Bagaimana memulai semuanya.

"Ehemm.."

Aku menoleh ketika mendengar deheman bang Sakti yang disengaja.

"Kok melamun Li?"

"Eng.. Enggak kok bang."jawabku singkat

"Bagaimana Li?"

"Apanya yang bagaimana bang?"jawabku pura pura tidak tau, jujur aku malu sebenarnya, mengakui kalau aku gugup.

"gimana dengan lamaran abang, apa jawaban Lili? Harapan abang lili bersedia."

"Ekhm.."
Akupun berdehem sekali, bang Sakti ini kadang kadang gak mengerti atau apa ya? To the point terus. Gak ada basa basi nya.

"Hmm.. Kemarin ibu bicara ke Lili, setelah bicara dengan ibu dan mendengarkan pendapat ibu, maka setelah Lili fikirkan dengan baik, Lili memutuskan bahwa Lili bersedia menikah dengan abang. Itu pun asal keluarga dan anak anak abang tidak keberatan dan merestui." jawabku akhirnya

Aku melihat ke arah bang Sakti, aku tidak tau apa yang difikirkannya sekarang. Ekspresinya sulit untuk ku artikan. Tidak terbaca. Setelah menjawab lamarannya akhirnya kembali kami hening. Akupun bingung, mengapa bang Sakti menjadi diam? apa jawabanku salah?

Tiba tiba bang Sakti mengenggam tanganku.

"Terimakasih Li. Terimakasih banyak, jawaban Lili sangat berarti untuk langkah abang selanjutnya. Bolehkah abang mempersiapkan sesuatunya dengan secepatnya? Atau Lili ada permintaan khusus?"

"Terserah abang saja, tapi Lili tidak ingin ada pesta pesta. Cukup hanya keluarga dan jiran tetangga saja bang."

"Terserah Lili, tidak apa apa, apa pun yang Lili katakan dan inginkan sebisa mungkin akan abang usahakan. Terima kasih Li. Terimakasih banyak." ucap bang Sakti berulang ulang. Sambil menggenggam tanganku erat.

"Ingin rasanya abang peluk Lili, tapi pasti Lili keberatan. Abang harus lebih bersabar lagi kan Li, sampai tiba waktunya." ucap bang Sakti dengan isyarat yang mampu membuat jantungku bergenderang.

Wajahku bersemu merah, ya ampun bang Sakti ini, pikiran nya langsung kemana mana. Aku mengalihkan pandanganku ke luar dinding kaca, malu di lihatin secara intens oleh bang Sakti. Sambil menarik tanganku yang digenggamnya tadi. Aku sontak terkejut melihat seseorang yang memandang kearah kami sekarang ini, Satria. Dia pasti kecewa sekali padaku. Tapi aku harus bagaimana, aku dan dia bagai langit dan bumi dari kehidupan dan dari usia, aku tidak berani berandai andai akan hubungan kami kedepannya.

Mungkin dengan begini Satria bisa berhenti memikirkan dan memaksaku.

_____________







Jumpa lagi setelah sebulan menghilang.
Maaf bila cerita ini tidak sesuai harapan readers semua. Penulis punya jalan cerita sendiri. Please dimengerti.

Readers yang bertanya kemana saya sebulan ini. Saya jawab ya.

Saya lagi berduka, adik kesayanganku telah berpulang kepada penciptanya. Tanggal 25mei lalu.

Setelah sebelumnya dirawat lebih sebulan dan koma dua minggu. Akhirnya adikku menyerah. Dia pergi meninggalkan kami untuk selamanya.

Umurnya 24tahun. Lajang.
Dan cukup ganteng.

Allah terlalu sayang pada adikku yang baik ini. Makanya dipanggil terlalu cepat.

Bantu doakan ya readers. Nama adikku Fadilla Ananda Putra.

Maaf juga kali ini cukup pendek. Semoga bisa dimaklumi.

With love





CRYINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang