Seperti tanaman di padang tandus, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Semua kering dan gersang. Hangus karena terik lalu terbang dan hangus oleh hembusan angin. Tidak ada sumber mata air yang menyejukkan. Tidak ada pula dahan tempat berlindung di bawah kerindangannya. Semua sama rata, di bawah terik yang gersang serta pasir yang panas.
Qiran menghela nafas kasar. Dia menengok ke depan, sejauh pandangannya melihat. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Lalu dia melirik ke samping, lelaki yang dihindarinya karena tidak ingin terlibat dengannya lagi. Namun sekarang mereka duduk berdampingan selama perjalanan.
Semakin sesak saja. Qiran merasakan pundaknya semakin berat. Beban menimpanya tak tanggung-tanggung. Dia menoleh, lelaki itu tidur tidak tenang. Mengerutkan dahi lalu mendengus.
Kembali menyumpal telinga dengan headfree, menutup pendengarannya dari suara yang membuatnya semakin pusing. Semua serba salah, kepalanya pening dengan perjalanan ini. Tetapi untungnya Vano tahu diri. Dia lebih banyak diam sejak mereka bertemu, hanya berbicara seperlunya saja.
Bahkan Qiran tidak yakin jika lelaki itu secepat itu menginginkan kemauannya. Lebih baik seperti itu. Dengan begitu Qiran aman dan tak terganggu lagi dengan keberadaan lelaki tersebut. Memang seperti itu yang diinginkan sejak dulu. Qiran ingin sendiri tanpa adanya yang mengganggu.
Sisa perjalanan itu sama sekali tidak terjadi apa-apa. Mereka satu perjalanan, namun tak sepatah kata pun yang keluar dari bibir masing-masing. Keduanya sama-sama membuang pandangan, menoleh pada jendela mobil. Tidak sepenuhnya menikmati pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Pandangan keduanya kosong, sibuk dengan pemikiran masing-masing yang menyalang jauh di seberang sana.
Qiran terlebih dahulu menerima key card dari receptionis hotel yang telah disediakan untuk mereka. Vano memandangnya yang semakin menjauh, lalu menerima key card-nya. Sengaja membiarkan wanita itu berjalan lebih dahulu. Vano tidak mengetahui apa kesalahannya. Tetapi mereka bertransformasi menjadi pribadi yang tidak saling mengenal.
Dia memberikan waktu pada Qiran untuk menyadari kesalahannya. Setelah itu, lihat saja! Vano menggeram dalam hati. Semua akan terbalaskan setelah wanita itu kembali seperti semula. Vano tidak terbiasa dengan sikapnya sejak pertemuan mereka setelah lama tidak bertemu kembali.
Lelaki itu menghela nafas panjang, menekan tombol lift untuk membawanya ke lantai dua puluh. Mereka berada di lantai yang sama, hanya terpisah oleh sebidang tembok kokoh yang membuat mereka semakin jauh.
Setelah memasukkan key card-nya, Vano menghirup udara kamar tersebut. Meletakkan asal kopernya, lalu melangkah menuju balkon hotel. Menumpukan kedua lengannya di pagar pembatas balkon. Dia menatap pantai yang luas dan biru serta bangunan-bangunan menjulang tinggi di sekitarnya.
Beberapa saat memandang hamparan luas yang cukup memanjakan mata, sehingga rasa jenuh yang menggerogotinya mulai mereda. Vano melirik ke samping, wanita yang menjadi partnernya selama di sana sedang meregangkan tubuhnya.
Tampaknya dia baru selesai mandi. Terlihat dari rambutnya yang basah serta pakaiannya yang telah terganti. Dari kemeja berbahan sifon dan celana jeans menjadi tanktop berwarna putih dan hotspan abu-abu. Dia terlihat seksi dan natural. Diam-diam Vano sering meliriknya jika mereka sedang perjalanan seperti ini sebelumnya.
Wanita itu menoleh. Menyadari tetangga di sampingnya memperhatikannya. Pandangan mereka bertemu. Keduanya terdiam. Qiran sama sekali enggan memutuskan pandangan, dia menatap tajam lelaki di samping kamarnya. Qiran menunjukkan jika dia tidak semudah itu tunduk pada lelaki tersebut. Qiran bukan wanita biasa yang akan diam saja dipermainkan oleh lelaki brengsek tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Angel [TBS #2] [TERBIT]
RomanceBroken Angel [TBS #2] . . . Memiliki seorang ibu yang jauh dari kata normal, membuat Vano menutup diri dari sekitarnya. Dulu ketika dia masih sekolah, teman-temannya merencanakan sebuah insiden untuk mencelakai ibunya. Vano tidak membalas perbuatan...