“Aku mencintaimu, Qiran.” Lelaki itu mengeratkan pelukannya.
Qiran mengangkat kepala sembari menggeleng. “Tidak. Kamu tidak mencintaiku. Kamu mencitai wanita itu. Kamu hanya ingin menggangguku.” Wanita itu kembali menangis. Air matanya terus mengalir sehingga pandangannya mengabur.
“Tidak! Aku tidak mencintainya.” Vano menggeleng, namun Qiran sama sekali tidak percaya. Lelaki itu pembohong ulung. Perkataannya tidak bisa dipegang sama sekali.
“Jangan membual!! Aku tidak ingin melihatmu lagi.”
Tangan kanan Vano terulur pada pipi Qiran. Mendongakkan wajah wanita itu untuk menatapnya. Hatinya seperti tertancap belati. Air mata wanita itu kelemahannya. “Aku tidak membual! Aku serius!!” Qiran kembali meneteskan air mata, membuat lelaki itu semakin frustasi.
“Kita berbeda, Vano. Pergilah.” Ucapnya lesu.
“Tidak!" Vano menggeleng. Menolak keras keinginan Qiran. “Aku tidak akan pergi sendiri tanpa adanya kamu. Aku mencintaimu! Dari dulu, hingga sekarang. Bahkan nanti. Hingga akhir hayatku!”
“Kamu bersamanya... aku tidak menginginkamu. Aku membenci-“
“Aku hanya ingin membuatmu cemburu.” Vano terlihat lesu. “Kamu mengabaikanku. Kamu menolakku. Kamu menganggapku tidak ada. Aku selalu ingin diperhatikan olehmu.”
“Aku tidak percaya. Pergi! Lepaskan aku!!” Qiran mendorongnya. Melangkah cepat agar Vano tidak mendapatkannya. Tetapi lelaki itu lebih gesit, kembali menarik lengannya yang berayun ke belakang. Qiran terpekik, secepat mungkin lelaki itu menyumpal bibirnya.
Wanita itu kembali berontak. Sama sekali tidak menginginkan Vano menciumnya. Qiran mendorongnya sekuat tenaga lalu melayangkan tangan kanannya pada pipi lelaki tersebut.
Vano terdiam. Memandangnya tidak percaya.
“Jangan pernah menyentuhku lagi!!” Amarahnya. Nafasnya tersenggal-senggal. Lalu pergi meninggalkan Vano yang belum sadar dari keterkejutannya.
Qiran meringis, kakinya keseleo. Sialan! Heels setinggi tiga belas centimeter itu membuatnya nyaris jatuh.
Dia berusaha berdiri tegap, kembali berjalan pelan-pelan demi mengurangi rasa sakit di kakinya. Sekitar sepuluh langkah melangkah dengan terseok-seok, Qiran merasakan pinggangnya sesak. Lelaki itu menahannya erat, melarang Qiran pergi meninggalkannya.
“Lepaskan!!”
Vano menggeleng. “Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu lagi, Qiranku!”
Wanita itu menggeleng, air matanya kembali meluruh untuk kesekian kalinya. “Tidak! Aku harus pergi! Lepaskan aku!!”
“Qiran.”
“Tidak!!”
“Lepaskan!”
“Tidak!!” Suara lelaki itu melemah namun tetap terdapat unsur ketegasan di sana. Menyeruakan wajahnya dilekukan leher wanita tersebut. “Aku tidak bisa memilih, Qiran. Semua berat. Aku tidak mau kehilanganmu.”
“Kamu meninggalkanku!”
Vano menggeleng lemah. “Maafkan aku. Aku takut.” Qiran terdiam. Mencoba mencerna perkataan Vano barusan. Takut? Apa maksudnya? “Aku takut kehilanganmu. Aku takut kamu membenciku.”
“Apa maksudmu?” Tanya Qiran tergagap.
“Mereka semua membenciku. Mereka semua membenci ibu. Mereka menganggap ibuku tidak pantas ada.” Vano semakin lemah. Semakin memeluk wanita tersebut seakan takut jika Qiran pergi menjauh jika dia melonggarkan lengannya di pinggang ramping tersebut.
“Mereka tidak menerima ibuku seperti menerima aku. Mereka meninggalkanku setelah mengetahui keadaan ibuku yang sesungguhnya. Aku takut kamu demikian. Membenciku karena keadaan ibuku yang tidak normal. Aku takut kamu jijik padaku dan ibuku!”
Wanita itu terenyuh. “Lebih baik aku yang mengalah. Aku sangat mencintaimu sehingga aku tidak sanggup mempertemukanmu dengan ibumu. Aku takut kamu jijik pada kami.”
Tubuh wanita itu menegang. Tidak pernah terlintas dalam benaknya jika Vano melakukan semuanya demi ibunya dan mempertahankan cintanya. Vano berkorban begitu berat untuk memiliki keduanya, namun dia harus tetap memilih.
Secara perlahan, Qiran memutar tubuhnya meskipun Vano tidak mau menunjukkan wajahnya. Qiran membingkai wajah lelaki tersebut, memaksa memandangnya. “Kamu… kamu jahat. Kamu menganggapku sama dengan mereka?”
“Aku trauma!” Qiran terdiam. “Lebih baik kamu membenciku seperti ini daripada menolak ibuku.”
Bagai tertikam belati, Qiran tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Dia hanya menatap lelaki itu dengan uraian air mata. Vano menyapukan tangan kanannya untuk menyeka wajah wanita tersebut.
Qiran terisak. Menjatuhkann tubuhnya pada Lelaki di depannya. Vano tidak merespon, begitu terkejut dengan Qiran yang tiba-tiba memeluknya erat. Suara sesegukan wanita itu menyadarkannya. Vano membalas pelukannya lebih erat.
“Maafkan aku.” Bisik Vano menyesal. Namun wanita itu menggeleng lemah. Semakin memeluk lelaki yang selama ini membuat hidupnya jungkir balik. Tanpa tentu arah yang pasti, sebab lelaki itu benar-benar menguasainya.
“Kenapa kamu mengambil kesimpulan seperti itu? Mengapa kamu menganggapku sama dengan mereka?” Tanya Qiran.
“Aku takut memastikannya. Aku tidak sanggup jika kamu menolak ibuku. Aku semakin hancur, Qiran.”
Kedua menangis, berpelukan erat dan saling menguatkan.
***
Jakarta, 12 Juli 2017
Ciye.... Baikan kan mereka 😂😂😂
Siapa nih yang seneng?? 😂😂
Siapa yang gak setuju Vano - Qiran?
Maunya Vano sama siapa gaes??Oke. Buat part selanjutnya hasil palakan ya hahahaha.
Gak sulit kok hahaha.
Oke besok gua up lagi kalo votmennya banyak ya 😂😂😂
Berapa banyak votmen yang diperlukan???
RATUSAAAANNNNNN!!!!!
#BERASAIKLAN 😲😲
TAPI BENERAN MALAKNYA 😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Angel [TBS #2] [TERBIT]
RomansBroken Angel [TBS #2] . . . Memiliki seorang ibu yang jauh dari kata normal, membuat Vano menutup diri dari sekitarnya. Dulu ketika dia masih sekolah, teman-temannya merencanakan sebuah insiden untuk mencelakai ibunya. Vano tidak membalas perbuatan...