Broken Angel - 24

7.6K 599 92
                                    

"Untuk undangan besok malam. Semua karyawan diharapkan untuk hadir."

Salwa histeris dan tidak sabar lagi menunggu esok malam. Membilah seluruh isi lemari di kepalanya untuk memilih gaun apa yang akan dikenakannya.

Kedua irisnya berbinar indah. Sesekali kembali memekik. Meskipun pengumuman itu telah berakhir, tetap saja dia merasa melayang.
"Aku akan mengenakan gaun hijau jamrud yang dibelikan oleh pacarku seminggu yang lalu. Pasti sangat cantik sekali dipadukan dengan heels dan cluth yang senada." Jeritnya tanpa tertahankan.

Wanita di samping Salwa hanya menghela nafas panjang melihat keantusiasan itu. Sama sekali tidak tertarik pada pesta tersebut meskipun dia berperak aktif untuk mewujudkannya.

"Mbak..." Salwa mengerutkan dahi. Melambaikan tangan di depan wajah Qiran. "Mbak kenapa? Tidak suka dengan pesta ini?" Tanyanya. Lalu dia menghela nafas berat, cemberut dan kecewa pada Qiran yang telah berubah banyak. "Ayolah, mbak. Ini pesta kita." Bujuk Salwa memelas.

Qiran berdecak. Mengheleng dengan wajah menyesal. "Maafkan aku,  Salwa. Tetapi sungguh, aku tidak bisa hadir besok malam. Keluargaku mengadakan acara yang tidak bisa kutinggalkan."

"Mbak sudah janji padaku!" Kedua mata Salwa berembun. Kembali kecewa pada Qiran yang selalu menghindar. Menutup diri sehingga orang-orang di sampingnya jengah dan meninggalkannya.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa!" Qiran bersikukuh menolak.

"Aku juga tidak ikut!" Salwa melipat kedua tangan di dada. Lenyap seluruh kebinaran di wajahnya. Salwa menjauh, kembali ke kubikelnya dan melanjutkan pekerjaannya.

Sedangkan Qiran mendesah. Kepalanya kembali berdenyut sakit. Wanita itu tidak berani menghadapi kenyataan. Mengecewakan orang-orang disekitarnya dengan kelabilan yang melekat pada dirinya.

Menjadikan keluarga sebagai tameng untuk menghindar dari sekitar. Menolak mereka yang bersungguh-sungguh padanya. Mengecewakan dan enggan merasa bersalah.

Qiran duduk di kursinya, kembali melanjutkan pekerjaan tanpa melirik Salwa yang begitu kecewa padanya.
Jam kantor telah usai, Qiran melirik Salwa yang tampak berbeda sari biasanya. Gadis polos itu melanjutkan acara mogok bicara padanya.

Wanita itu menghela nafas panjang. Salwa berdiri dan mengepak barang-barangnya ke dalam tas. Berlalu begitu saja tanpa mengajak atau berbasa-basi pada Qiran.

Menghentikan jemarinya di atas keyboard, Qiran menunduk, memejamkan mata dan membiarkan karyawan lain pulang terlebih dahulu.

Beberapa mengajak wanita itu pulang, Qiran hanya tersenyum dan mempersilahkan mereka duluan.

Dia melirik ke ruangan di samping. Melalui dinding kaca yang sedikit transparan, Qiran melihat Vano masih berkutak di meja.

Lelaki itu seperti tidak menyadari keberadaan Qiran di sekitarnya lagi. Dia tetap fokus pada pekerjaan tanpa mengambil sedikit waktu untuk bergurau dengannya
Qiran sangat merindukannya.

Bergegas mengepak barang-barangnya, Qiran beranjak dengan langkah buru-buru. Dia menahan nafas, mereka bertemu di depan ruangan Vano.

Lelaki itu mengernyit. Lalu teraenyum lembut meakipun tidak sampai mata. "Qiran, kamu belum pulang?" Qiran mengangguk. "Kamu lembur?"

Qiran mengangguk ragu. "Yah, ada pekerjaan yang belum kuselesaikan."
Vano mengangguk. Lalu mereka melangkah beriringan. "Pak...," Vano menoleh setelah menekan tombol lift. Keduanya menunggu beberapa saat lalu masuk setelah pintu terbuka.

"Ada apa, Qiran? Ada masalah dengan pekerjaanmu?" Tanya Vano mengalihkan pandangan. Lelaki itu tampak sibuk dengan handphone yang berdering ketika mereka memasuki lift.

"Tidak. Bukan." Qiran menggeleng. Menunduk dan salah tingkah pada keberanian yang tiba-tiba melambung tinggi beberapa saat yang lalu, namun menciut setelah melihat Vano tersenyum pada benda kecil di tangannya.

"Ada apa? Mengapa kamu terlihat bingung? Ayo katakan ada apa?"

Qiran semakin meragu. Meremas kedua tangannya hingga memutih. "Saya..., sebenarnya tidak penting. Tetapi saya tidak tahu harus bagaimana. Memulai seperti apa." Qiran memberanikan diri menatapnya. Meskipun gugup, Qiran berusaha menetralkan intonasi suaranya.

"Maksud kamu? Kamu bertele-tele sekali." Vano tersenyum sembari menggeleng. "Ayo katakan saja." Tuntutnya.

"Saya..."

"Tunggu,  sebentar." Vano memberikan tanda berhenti dengan tangan kirinya. Keduanya keluar dari dalam lift, Vano mendapatkan telephon dan tampak berbinar. "Iya, sayang. Aku akan segera ke sana." Qiran semakin teriris. Vano mengangguk dan kembali tersenyum lebar. "Aku juga tidak sabaran ingin bertemu dengannya. Tentu saja. Dia penyemangatku, separuh hidupku." Angguknya antusias. "Baiklah. Tunggu sebentar lagi ya. I love you..."

Vano memutar tubuhnya. Menemukan Qiran menatap sendu padanya. Dia menggaruk tengkuk dalah tingkah.
"Sam?" Tanya Qiran pelan.

Vano memgangguk mengiyakan. "Iya, Sam. Menyuruhku datang ke apartemennya." Qiran mengangguk lesu. "Maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa mendengarkan kamu bercerita. Aku harus pergi. Sam akan mengomel jika aku datang terlambat. Kamu tahu? Dia sangat menggemaskan, tetapi aku tidak bisa membiarkan dia mengomel saat ini. Ada urusan lain yang harus kami selesaikan." Vano menunjukkan kedua lesung pipitnya. "Aku pergi dulu. Maaf tidak bisa mengantarmu. Hati-hati."

Qiran terbata. Vano telah melesat pergi. Menghilang secepat mungkin dari pandangannya. Menyisakan Qiran yang semakin hancur.

Air matanya mengalir deras. Qiran berusaha menghalau dan menghapus jejak-jejaknya.

Suara klason mengembalikannya ke dunia nyata. Vano membuka kaca mobil dan tersenyum. "Hati-hati, Qiran. Aku duluan."

Setelah itu, tangis Qiran pecah. Menunduk dan tubuhnya ambruk sehingga dia terduduk di lantai.
Kantor yang sepi membuat dia semakin terlihat mengenaskan. Qiran tidak peduli, dia hanya ingin menuntaskan tangisnya agar dadanya tidak sesempit ini lagi.



***

Jakarta, 05 Juli 2017

Waks..., Vano makin sibuk.

Qiran makin galau

Salwa ngambek

Serba salah jadi Qiran ya

😭😭😭

Broken Angel [TBS #2] [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang