Pandangannya lurus ke depan. Berfokus pada objek yang sejak tadi menarik perhatiannya. Hingar bingar kehidupan di sana tidak mempengaruhinya sedikitpun. Semua tertawa bahagia, saling menyapa dan mengucapkan selamat. Melotarkan pujian dan candaan, tetap saja dia terpengaruh.
Dia hanya tersenyum tipis. Ekor matanya tidak pernah lepas darinya. Seolah jika dia berkedip, objek itu menghilang dan melebur dalam sekejap mata.
"Mengapa kamu hanya melihatnya? Hampiri dia." Helaan nafas berat terdengar dari lelaki dewasa itu. Dia meneguk minuma dalam gelas yang dipegangnya sejak tadi. Memejamkan mata beberapa saat, kemudian membukanya secara perlahan-lahan.
Rasa lega menyeruakinya, wanita itu masih di sana. Duduk bertiga dengan teman akrabnya, dan seseorang baru dilihatnya. Awalnya begitu khawatir jika lelaki itu menggodanya, mengajak kenalan atau berbincang dengannya.
Namun setelah melihat dan menyimpulkan. Akhirnya dia lega. Lelaki itu tidak bermaksud menggodanya. Lelaki itu datang bersama wanita yang duduk di sampingnya. Sedikitpun tak terlihat dari gelagatnya mencuri-curi pandang pada wanita yang di awasinya sejak tadi.
"Jika kamu hanya berdiam diri tanpa bertidak sedikitpun. Tidak akan ada yang berubah. Dia semakin membencimu, dan kamu semakin tak tertolong lagi."
Helanan nafas untuk kesekian kalinya terdengar dari mulut lelaki tersebut. "Dia sudah membenciku sejak awal, Sam." Ucapnya sedih. Menatap nanar gelas di tangannya, menyembunyikan kesedihan yang terpancar pada wajah dan kedua bola matanya. Suaranya memelan, bahunya merosot seperti tidak sanggup menahan tubuhnya lagi tetap kokoh.
Wanita itu mengusap punggung lelaki tersebut. Memberikan kekuatan agar Vano kembali bangkit. "Vano..., kamu masih mencintainya." Kata wanita bernama Samatha itu. "Pergilah, Vano. Temui dia. Jelaskan semuanya padanya agar dia tidak salah paham denganmu."
Tetapi lelaki itu menggeleng cepat. "Tidak, Sam. Aku sudah berjanji akan berusaha. Kita akan bersama. Dia tidak membutuhkanku lagi. Dia begitu membenciku."
"Jangan bodoh, Vano! Selama ini kamu yang selalu berada di sisiku. Menguatkanku atas semua yang pernah terjadi. Aku tahu kamu, aku kenal kamu." Elak wanita itu menggeleng.
Vano menegakkan tubuhnya. Meraih pinggang wanita itu dan menepis jarak di antara mereka. "Aku manusia paling bodoh, Sam. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku sudah berusaha mengembalikan rasa itu, tetapi dia menolakku. Dia menghindariku. Untuk apa aku bertahan jika dia tidak menginginkanku? Aku tidak ingin membuatnya terluka lagi." Jelas Vano bersusah payah. "Jangan memaksaku, Sam. Ayo kita menikah dan membesarkan anak kita."
Vano merasakan Sam menggeleng. "Tidak, Vano." Ucapnya. Vano mengangkat kepala, mengernyit dengan penolakan yang baru diterimanya. "Aku akan mengurusnya sediri."
"Tetapi dia anakku, Sam. Jangan melarangku." Kukuh Vano tidak mau mengalah.
Sam mengangguk dan tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca. "Sampai kapanpun dia akan tetap menjadi anak kamu, Vano. Aku tidak akan melarangmu." Jelasnya. "Tetapi kamu bukan milik kamu. Kamu miliknya."
Vano benar-benar tidak mengerti maksud wanita yang sedang di dekapannya tersebut. "Kamu membuatku pusing, Sam. Jangan bertele-tele."
"Yah." Sam kembali mengangguk. "Dari awal kita salah. Kamu dan kami berbeda, Vano. Kamu miliknya, sedangkan kami bukan siapa-siapamu."
Vano menukik alisnya tidak suka. Mengeraskan rahangnya dan mengepalkan kedua tangannya. "Jangan mengucapkan kalimat menjijikkan itu, Sam. Kamu tidak berhak mengatakannya. Kalian berdua berharga bagiku. Kalian keluargaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Angel [TBS #2] [TERBIT]
RomanceBroken Angel [TBS #2] . . . Memiliki seorang ibu yang jauh dari kata normal, membuat Vano menutup diri dari sekitarnya. Dulu ketika dia masih sekolah, teman-temannya merencanakan sebuah insiden untuk mencelakai ibunya. Vano tidak membalas perbuatan...