“Bu, tunggu...,” Siti memanggil Shakila. Wanita itu berjalan cepat sembari tersenyum lebar. Dia menyuruh Siti mempercepat langkahnya agar mereka tidak kehilangan jejak. Siti sungguh tidak sanggup berjalan cepat. Usianya tidak muda lagi, Siti tidak pernah berjalan cepat seperti ini. Nafasnya terengah-engah, tetapi Shakila tetap saja melanjutkan langkahnya dengan senang tanpa merasa lelah seperti dirinya.
“Ayo, Siti. Mereka cepat sekali.” Kata Shakila tersenyum lebar.
Siti memegang perutnya. “Tunggu, bu.” Ucapnya kembali melangkah. “Siapa yang kita kejar, bu? Mengapa ibu buru-buru sekali? Saya tidak melihat siapapun.”
Shakila mengibaskan tangannya di udara. “Mereka ada.” Ucapnya antusias. “Kamu tunggu di sini. Aku akan mengejar mereka, nanti aku kembali lagi.” Siti hendak protes, tetapi Shakila telah pergi.
Siti menggelengkan kepala. Shakila tampak senang sekali. Dia yakin tidak salah melihat. Mereka belum jauh, Shakila yakin mampu mengejar keduanya. Langkahnya semakin cepat, dan senyumnya mengembang indah.
Dia menghampiri wanita yang diyakini bersama lelaki tadi. Shakila mulai ragu, namun segera mungkin menepis keraguannya dengan melebarkan senyum di depan wanita tersebut. “Maaf...,” Shakila menyapa wanita yang sedang duduk di atas undakan tangga darurat. Wanita itu mendongak, menghentikan tangannya memijit betis. “Kamu gadis tadi kan? Gadis yang bersama anakku?” Kata Shakila semangat.
Wanita itu berdiri, mengerutkan dahi tidak mengerti akan maksud Shakila. “Maaf, bu, saya tidak mengerti.”
Shakila menggeleng. “Kamu bersama anakku. Beberapa saat yang lalu kalian berjalan bersama. Di mana dia sekarang?” Shakila mengedarkan pandangannya, namun wanita itu mengerutkan dahi. Hingga akhirnya pandangan Shakila beralih pada kaki Qiran yang membengkak, “Kaki kamu kenapa bengkak begini?”
Qiran mengikuti arah pandangan wanita itu. Dia kembali meringis kesakitan, Qiran duduk dan memegang kakinya. “Jangan, bu. Tidak apa-apa.” Ucapnya.
“Kaki kamu bengkak. Kakimu harus diobati. Tunggu, ibu akan mencari obatnya.” Shakila kembali berdiri, namun Qiran menghentikannya.
Shakila mengernyit. “Tidak apa-apa, bu. Saya masih bisa menahannya. Ibu duduk sini.” Qiran membersihkan undakan tangga di sampingnya. Senyum wanita itu mengembang, Shakila akhirnya duduk setelah menimbang-nimbang.
Dia tersenyum, membuat Shakila semakin yakin. Mereka duduk berdampingan. “Maaf, bu, maksud ibu tadi, dia siapa?” Tanya Qiran hati-hati.
“Huh?” Shakila mengernyit. Melupakan tujuannya mengejar wanita itu bersama lelaki yang dilihatnya tadi. “Ibu tidak mengerti apa yang kamu maksud.” Shakila bingung akan maksud Qiran.
Wanita di samping Shakila itu memudarkan senyumnya, keanehan dalam diri Shakila semakin kentara. “Tadi ibu menanyakan saya dengan seseorang. Ibu melihat saya dengan anak ibu.” Jelasnya.
Senyum Shakila kembali terpantri, dia mengingatnya. “Vano. Anakku Vano.” Ucapnya bersemangat. Qiran melebarkan mata tidak percaya. “Aku melihatmu bersama Vano. Aku mengejar, tetapi kalian berjalan begitu cepat.” Ceritanya cemberut. Mereka begitu kejam, meninggalkannya yang sedang mengejar mereka.
“Va-vano...?” Qiran terbata. “Vano...”
Shakila mengangguk antusias. “Iya, Vano. Kamu bersamanya kan? Dia dimana sekarang?” Wanita itu menggengam tangan Qiran. Kedua irisnya berbinar, sama seperti binaran iris Vano. Mereka mirip dari beberapa bagian bentuk wajah.
Wanita itu tersenyum sendu. “Maaf, saya tidak tahu kalau ibu, ibunya Vano.” Qiran tersenyum kikuk. “Vano sedang pergi. Sebentar lagi akan kembali.” Ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Angel [TBS #2] [TERBIT]
RomanceBroken Angel [TBS #2] . . . Memiliki seorang ibu yang jauh dari kata normal, membuat Vano menutup diri dari sekitarnya. Dulu ketika dia masih sekolah, teman-temannya merencanakan sebuah insiden untuk mencelakai ibunya. Vano tidak membalas perbuatan...